
Oleh: Muhammad Alkaf*
Datang ke Italia 1990 dengan percaya diri yang tinggi, Timnas Brasil harus pulang dengan kepala tertunduk. Padahal, di bawah asuhan Sebastião Lazaroni, Brasil menjadi salah satu favorit kuat juara bersama tuan rumah, Italia. Dengan kombinasi pemain matang dari Piala Dunia Meksiko 1986 dan Olimpiade 1988, seperti Careca, Romario, Bebeto, dan Muller, Brasil menjuarai Piala Amerika setahun sebelum Piala Dunia 1990. Tetapi, semuanya tidak berdaya di hadapan Diego Maradona.
Babak 16 besar, di Delle Alpi, Turin, Maradona memulangkan Brasil tanpa ampun. Hasilnya, Sebastião Lazaroni menjadi bulan-bulanan publik Brasil. Dia dianggap telah mencoreng warisan agung Brasil di Piala Dunia. Di tangan Lazaroni, Brasil menjadi tim semenjana.
Sah saja publik Brasil menyatakan sikapnya demikian karena mereka memiliki standar tentang kejayaan. Brasil memenangkan Piala Dunia sebanyak tiga kali, memiliki Pele, dan terkenal sebagai penganjur permainan indah yang disebut Joga Bonito. Ketiga hal itu merupakan standar yang harus dicapai dan dijaga oleh setiap pelatih yang menukangi Timnas Brasil. Tidak boleh tidak. Jika gagal, alamat akan menjadi terdakwa dalam sejarah.
Jika pengalaman Brasil dan Sebastião Lazaroni diletakkan pada pengalaman Timnas sepak bola Indonesia di bawah asuhan Shin Tae-yong, standar apa yang kita punya dari sejarah?
Bukankah, sebelum Erick Thohir turun gunung, yang selalu diingat tentang kegemilangan dari Timnas sepak bola kita hanya beberapa hal: menahan seri Uni Soviet dan dua emas di ajang Sea Games. Sedangkan “selangkah lagi” ke Piala Dunia tidaklah benar. Yang benar adalah dua langkah lagi. Korea Selatan, yang mengalahkan Timnas Indonesia, harus mengalahkan Jepang untuk dapat pergi ke Meksiko di tahun 1986.

Selain sedikit kisah di atas, yang lainnya tentang duka sepak bola yang tidak pernah berhenti: kegagalan demi kegagalan.
Dalam keadaan demikian, lalu kita menjelma seperti orang Brasil yang mengejar Lazaroni sampai ke lubang semut gara-gara kegagalan di Italia 1990. Siapa kita dalam sejarah panjang olahraga ini?
Pertanyaan siapa kita, entah berapa kali sudah saya ulangi, adalah cara untuk sabar atas segala proses yang sedang sepak bola kita lalui. Sepak bola Indonesia telah jatuh, tidak hanya ke tanah, tetapi jatuh terperosok sampai ke makam di mana kita menjadi bahan olok-olok negara lain.
Karena alasan itulah, gagalnya pemain “Soeratin” kita ke semifinal Piala ASEAN tidaklah perlu diratapi, sampai meraung-raung seperti kalah di final Piala Dunia. Bukankah, sudah sedari awal, turnamen ini tidak dilihat sebagai ajang strategis, kecuali untuk memberi jam terbang kepada pemain-pemain yang sedang tumbuh mekar. Tidak lebih. Hasilnya: sekali menang, sekali seri, dan dua kali kalah.
Walau demikian, tidaklah adil jika kita hanya melihat hasil tanpa memperhatikan setiap proses yang dilalui oleh tim tersebut. Vietnam, di Hanoi, kewalahan. Filipina, dengan mayoritas pemain abroad-nya, membutuhkan penalti, satu kartu merah Ferari, dan kerandoman wasit yang entah diambil dari mana, untuk dapat memenangkan pertandingan.
Jika proses yang kita perhatikan, maka tim ini sedang tumbuh dewasa. Kita melihat pemain nomor 16 dan 18 yang memiliki harapan untuk masa depan timnas sepak bola Indonesia.
Dari Piala ASEAN yang tidak bermutu ini, kita sedang berproses untuk tumbuh. Percayalah.
*) Penulis adalah penggemar sepak bola, pecinta Diego Maradona, dan Timnas Indonesia. Tinggal di Aceh.