Menemukan Kata Pertama

Spread the love
Malkan Junaidi (Foto: Dokumen Pribadi Malkan Junaidi)

Oleh: Malkan Junaidi*

Selalu ada yang bisa Anda tulis asal Anda tidak berhenti melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pengetahuan dan pengalaman, selagi Anda masih membuka diri, memungkinkan hal-hal baru dan atau berbeda memasuki Anda, merasuki Anda, dan mengubah Anda sedemikian rupa. Persoalan besarnya kemudian, biasanya, adalah menemukan kata pertama.

Menemukan kata pertama biasanya berarti menemukan premis dan bahkan gaya karangan secara umum. Kata pertama merupakan lubang kecil menembus dinding, yang membuat materi di baliknya mengalir keluar, dan disebabkan tekanan besar dari balik dinding itu, lubang tersebut makin lama makin lebar, mengakibatkan materi yang memancar makin melimpah.

Sekian upaya dilakukan orang untuk menghasilkan lubang ini. Ada yang dengan merenung keras menghabiskan berbatang-batang rokok. Ada yang dengan bermeditasi di tempat-tempat sunyi. Ada yang dengan mengendurkan kontrol kesadaran, membuat perasaan rileks dengan psikotropika. Pilihan lain: membaca, menyimak, atau menikmati karya orang lain, baik yang segenre dan sebidang ataupun tidak. Aktivitas-aktivitas demikian disebut juga dengan: mencari inspirasi.

Sebuah pengalaman pribadi ingin saya bagikan. Belum lama ini, seorang kawan hendak menikah dan minta dibuatkan sebuah puisi yang nantinya akan ia pajang di status pernikahannya, dan yang akan ia jadikan monumen hidupnya. Saya mengiyakan, dengan syarat puisi itu selanjutnya hak ciptanya tetap pada saya, yang artinya saya berhak memublikasikannya di media mana pun.

Menulis puisi pesanan berbeda dari menulis puisi atas inisiatif sendiri. Ketika menulis puisi pesanan, Anda harus memandang persoalan dari sudut pandang pemesan, menyesuaikan tulisan dengan tingkat pengetahuan dan cita rasanya, dan memperkirakan siapa saja yang kemungkinan akan membaca puisi itu nanti. Dengan kata lain, ini momen di mana Anda harus berusaha untuk tidak menjadi diri sendiri. Bukan perkara mudah tentu.

Sebagai langkah pertama, saya menggali informasi dasar: sesuatu tentang calon istri kawan tadi, kesan istimewa tentangnya, dan harapan untuk pernikahan ini. Ia memberi petunjuk: calon istrinya adalah perempuan lembut, baik hati, tulus, dan bersedia memberinya kesempatan untuk menjadi lelaki sepenuhnya. Ia berharap perempuan ini dapat menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak, saudara bagi para iparnya, serta bisa menjadi sahabat dan penyeimbang dalam hidupnya.

Pena dan buku (sumber foto: kuda.grid.id)

Selanjutnya, seperti disinggung di awal, adalah memikirkan kata pertama. Berhari-hari saya berusaha, namun tak kunjung menemukan hasil. Rutinitas yang itu-itu saja agaknya membuat pikiran saya garing, kreativitas saya macet. Iseng, saya mencoba chatbot Gemini. Siapa tahu mendapat inspirasi. Prompt yang saya masukkan: “karang sebuah puisi berdasarkan teks berikut”. Petunjuk dari sang pemesan saya taruh di bawahnya. Dalam waktu kurang dari 5 detik, Gemini menyuguhkan hasil berikut:

Perempuan Istimewa

Lembut hatimu, bagai belaian kasih sayang,
Tulus senyummu, menerangi jalan terang.
Memberi kesempatan, tuk aku jadi lelaki sejati,
Bersamamu melangkah, mengarungi hidup ini.

Ku harap kau temani, setiap langkahku di dunia,
Sahabatku, belahan jiwa, yang selalu setia.
Ibu yang baik bagi anak, kakak yang penuh kasih,
Penyeimbang dalam hidup, di kala senang dan sedih.

Bersamamu ku lalui, suka dan duka yang datang,
Tanganmu menggenggam erat, takkan pernah kulepas.
Cintaku tulus untukmu, abadi dan tak tergantikan,
Semoga kau pun merasakan, cinta yang kupendamkan.

Kaulah perempuan istimewa, pujaanku sepenuh hati,
Bersamamu aku melangkah, tuk membangun masa depan yang pasti.
Semoga cinta ini diberkati, oleh Tuhan yang Maha Kuasa,
Dan kita hidup bahagia, selamanya bersama.

Berdasarkan sekian percobaan sebelumnya, saya berkesimpulan bahwa default puisi bagi Gemini adalah tulisan bermetrum, berima, dan bersimile atau bermetafora. Di percobaan kali ini, tipikalnya tampak belum berubah. Kustomisasi prompt yang mendetail karena itu diperlukan agar hasil yang disuguhkan tidak seklise “Perempuan Istimewa” di atas.

Saya mengajukan prompt lain, kali ini saya minta Gemini membuat dengan gaya T.S. Eliot.

Fragmen: Perempuan Impian

Dalam gurun kehidupan yang tandus ini,
Engkau, oasis yang teduh, membasuh jiwa dahagi.
Lembut suaramu, gema seruling di senja sunyi,
Sejuk belaianmu, mendinginkan dahaga hati.

Bukan sekadar dara, bukan sekedar kekasih,
Kau harapan masa depan, janji suci yang tulus ikhlas.
Di bahumu ku sandarkan beban, di matamu ku temukan titik hening,
Kau penyeimbang aral, saat badai kehidupan menerjang.

Engkau ibu bagi anak-anak yang bakal lahir,
Kakak bagi adikku, pemberi arahan yang bijaksana.
Di saat gelombang hidup menghempas tiada henti,
Kaulah karang kokoh, tempatku berlabuh dengan tenteram.

Cintaku padamu, fragmen tak terucapkan,
Tersembunyi di ruang sunyi, di kedalaman sanubari.
Semoga kidung hati ini, sampai ke telingamu,
Dan bersama kita melangkah, menuju masa depan yang suci.

Tapi tahukah kau, hidup bukan senantiasa harpa?
Duka nestapa mengintai, di setiap tikungan jalan.
Namun, jika tanganmu menggenggam tanganku erat,
Tiada takut ku hadapi badai, bersama kita kan menang.

Tampak ada yang berbeda kali ini. “Fragmen”, “tandus”, “kidung”, dan “harpa” menjadi indeks yang menghubungkan Fragmen: Perempuan Impian dengan paradigma perpuisian Eliot. Lebih dari sekadar ode yang kaku dan kering, puisi yang dihasilkan lebih terasa teksturnya. Citraan bertentangan yang disandingkan, susunan kalimat yang lebih kompleks, semua menjadi nilai tambah, pemerkaya makna.

Bagaimanapun, seperti hasil sebelumnya, Gemini tampak masih terobsesi dengan metrum dan rima. Saat membaca Fragmen: Perempuan Impian, seolah terdengar bunyi metronom di latar belakang. Ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang di masing baris sama atau hampir sama (atau baris A sama dengan C, baris B sama dengan D). Keteraturan demikian sayangnya sering dianggap sebagai nilai minus dalam perpuisian modern. Puisi modern dituntut untuk dinamis dan tak terduga, tidak menuruti begitu saja bentuk-bentuk tradisional.

Lebih lanjut, sebagaimana terdapat kata “kupendamkan” (seharusnya “kupendam”) di Perempuan Istimewa, pada Fragmen: Perempuan Impian pun terdapat kata “dahagi” (seharusnya “dahaga”). Pemaksaan ini agaknya dikarenakan Gemini, sekali lagi, menganggap default puisi sebagai tulisan berima. Saya memang tidak memasukkan “tanpa rima” dalam prompt.

Berikut gambaran ketika Gemini diminta membuat puisi bebas, tanpa rima, tanpa ditentukan apa tema dan isinya.

Kota di Antara Bintang

Cahaya gedung-gedung pencakar langit menikam malam,
Membentuk persekutuan semu dengan bintang-bintang yang redup.
Klakson mobil meraung memecah hening,
Beradu dengan desau angin yang getir.

Di lorong-lorong sempit, mimpi dijajakan dengan harga murah,
Dihiasi lampu neon yang remang-remang.
Wajah-wajah lelah lalu lalang,
Membawa beban cerita yang tak terucapkan.

Namun, di sela hiruk pikuk, ada senyum anak kecil
Yang mengejar cahaya kunang-kunang di taman kota.
Ada tawa nenek tua yang berbincang dengan tetangganya,
Menyimpang sejenak dari penatnya hidup.

Kota ini paradoks, penuh kontras.
Menyimpan harapan di balik keputusasaan,
Menyembunyikan mimpi di balik gedung-gedung tinggi.
Ia terus berdetak, berdenyut, dan bernapas.

Meski mengingatkan pada sekian pelajaran penting seni penulisan puisi, seluruh hasil yang disodorkan Gemini tidak mencipratkan suatu inspirasi ke benak saya. Lubang itu muncul justru ketika saya menyimak lagu “Come as You are” dari album Nevermind karya grup band Nirvana.

Come as you are, as you were
As I want you to be
As a friend, as a friend
As an old enemy
Take your time, hurry up
Choice is yours, don’t be late
Take a rest as a friend
As an old memoria

(Datanglah sebagai dirimu sekarang, sebagai dirimu yang dulu
Sebagai dirimu yang kuinginkan
Sebagai teman, sebagai teman
Sebagai musuh lama
Jangan tergesa, cepatlah
Pilihan ada di tanganmu, jangan terlambat
Beristirahatlah sebagai teman
Sebagai kenangan lama)

Ini dia, pikir saya, “datanglah sebagai”. Ini kata pertama (lebih tepatnya frasa) yang saya butuhkan, yang sesuai dengan gambaran seseorang yang menyambut sesuatu atau seseorang⸺calon istri dan pernikahan. Tidak sekadar menyambut, bahkan ada nada berharapnya pula. Frasa ini memberi kesempatan saya memproyeksikan informasi dasar yang saya dapat dari sang pemesan ke suatu bidang aransemen puitik. Frasa ini akan saya ulang-ulang, saya membatin, dan sebagaimana lirik yang ditulis Kurt Cobain di atas, saya akan menghadirkan kontradiksi-kontradiksi. Maka, setelah beberapa hari, terciptalah aransemen sebagai berikut, sesuatu puisi yang saya pertimbangkan akan bisa dicerna bahkan oleh mereka yang awam dalam sastra.

Semesta Kita

Datanglah
Sebagai beludru
Langit biru
Cakrawala memanggil
Kakiku menyusurinya
Meter demi meter

Datanglah
Sebagai lentera
Di jalan gelap
Kaca spion
Di lalu-lintas padat
Datang sebagai
Telinga yang tabah
Jemari yang lembut

Datang dengan
Seluruh ombakmu
Ikan mutiaramu
Datang menyongsong
Cahaya baru
Diarak burung-burung

Masuki aku
Yang telah terbuka
Hanya untukmu
Bawa serta sejarahmu
Riwayat lukamu
Dendam-dendammu
Yang belum terbalas

Tanpa syak dan cemas
Susuri lanskapku
Di tebing dan pelosoknya
Gemakan kasidahmu
Dan sebagai tanah gersang
Rabuk dan airi aku
Hingga jadi kebun hijau
Penuh aneka buah

Lalu seperti
Kau menemukan
Ketiadaan ujung pada
Cincin di jari kita
Kau akan menemukan
Kita tiada selesai
Saling memasuki
Tiada habis-habis
Bertukar rahasia

Kita dalam semesta
Penuh kecamuk warna
Lagi dan lagi akan
Masih belajar berlabuh
Lagi dan lagi akan
Masih berlatih menggenapi
Hidup akan tetap gigih
Memberi pelajaran
Tentang ABC kehilangan
Tentang XYZ memiliki
Tentang merdeka dari
Gravitasi hal fana
Dan mengabdi hanya
Pada kerling mata abadi

*) Penulis adalah penyair dan penerjemah buku. Tinggal di Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *