
Oleh: Marselus Natar*
Di tengah arus modernisasi dan pergeseran nilai-nilai tradisional, masyarakat Manggarai di Nusa Tenggara Timur masih mempertahankan sejumlah kearifan lokal yang sarat makna dan fungsi sosial. Salah satunya adalah konsep turuk empo, sebuah sistem genealogis yang menjadi penanda garis keturunan dalam masyarakat adat Manggarai. Konsep ini bukan sekadar alat penanda asal-usul, tetapi berperan besar dalam menjaga tatanan sosial, menghindari praktik kawin sedarah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta agama.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, maraknya fenomena “kumpul kebo”—yakni hidup bersama sebagai pasangan suami istri tanpa ikatan pernikahan resmi—telah mengaburkan kesadaran akan pentingnya silsilah keluarga. Banyak generasi muda yang hidup berpindah-pindah, tanpa pengakuan adat dan gereja, bahkan tanpa mengetahui secara jelas siapa leluhur atau rumpun keluarganya. Akibatnya, kasus-kasus perkawinan sedarah yang melanggar nilai adat dan ajaran gereja pun mulai bermunculan. Situasi ini menuntut kita untuk kembali membincang secara serius fungsi dan relevansi turuk empo dalam kehidupan sosial dan hakikat perkawinan.
Apa Itu Turuk Empo?
Secara harafiah, turuk empo berarti “urutan nenek moyang” atau silsilah keturunan. Dalam masyarakat Manggarai, setiap orang dikenali bukan hanya dari nama pribadinya, tetapi dari garis keturunan yang menghubungkannya dengan nenek moyang dan klan (suku) tertentu. Sistem turuk empo disusun berdasarkan urutan generasi laki-laki dari satu nenek moyang yang sama (patrilineal), dan memiliki struktur yang sangat jelas serta sakral (Wea, 2007).
Pengetahuan tentang turuk empo tidak sekadar dimiliki secara pribadi, tetapi diwariskan dan dijaga oleh komunitas adat. Biasanya, dalam acara-acara adat seperti pernikahan, kematian, atau pembangunan rumah adat (mbaru gendang), para tetua adat akan menyampaikan kembali urutan turuk empo untuk memastikan keterhubungan kekerabatan antar individu. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari terjadinya perkawinan antara dua orang yang berasal dari nenek moyang yang sama, yang dalam istilah adat disebut; “boto tua jurak ali toko toe kop, ngoeng toe omen” (agar terhindar dari hubungan cinta terlarang, seketurunan dan sekampung), karena hal ini dianggap sebagai aib besar dan pantangan berat (Kleden, 2020).
Kumpul Kebo: Gaya Hidup Modern yang Mengaburkan Akar Tradisi
Di tengah gaya hidup modern dan derasnya pengaruh budaya luar, praktik “kumpul kebo” menjadi fenomena yang makin lumrah, bahkan dianggap sebagai bagian dari “kebebasan hidup” oleh sebagian generasi muda. Namun, ketika praktik ini berlangsung tanpa pengakuan adat dan gereja, banyak nilai-nilai dasar yang ditinggalkan. Anak-anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan sah ini sering kali tumbuh tanpa pengenalan yang jelas tentang asal-usul dan silsilahnya (Yusuf, 2021).
Ketika anak-anak tersebut dewasa dan mulai membangun relasi dengan orang lain, mereka tidak memiliki panduan kekerabatan yang kuat untuk menghindari kemungkinan berhubungan dengan saudara sedarah. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung garis keturunan seperti Manggarai, ini adalah masalah serius. Bahkan, beberapa kasus di kampung-kampung tertentu menunjukkan bahwa anak-anak dari pasangan kumpul kebo, yang tak mengenal silsilah keluarga mereka, kemudian menjalin hubungan dengan saudara satu klan tanpa menyadarinya—dan hanya ketahuan setelah hubungan tersebut melangkah terlalu jauh.
Fenomena ini menunjukkan betapa kumpul kebo bukan sekadar persoalan moral atau agama, melainkan persoalan sosial-budaya yang sangat kompleks. Ia menggerogoti sendi-sendi adat yang selama ini menjadi benteng bagi keteraturan sosial masyarakat Manggarai.
Larangan Kawin Sedarah: Antara Adat dan Gereja
Baik adat Manggarai maupun Gereja Katolik melarang keras praktik kawin sedarah. Dalam adat, larangan ini bukan hanya karena alasan moral, tetapi juga karena menyangkut kehormatan klan dan komunitas. Mereka yang melanggar dianggap telah mencemari “darah” leluhur dan akan dikenai sanksi sosial, mulai dari pengucilan hingga ritual pembersihan (wua mata atau paki ramu), tergantung beratnya pelanggaran (Tamelan, 2018).
Sementara itu, dalam ajaran Gereja Katolik, kawin sedarah melanggar Hukum Kanonik dan dianggap berdosa karena bertentangan dengan kodrat manusia serta membahayakan kehidupan dan perkembangan anak-anak yang akan dilahirkan (Katekismus Gereja Katolik, 1994). Gereja menekankan pentingnya pengakuan resmi dalam sakramen perkawinan, bukan hanya untuk memberkati relasi cinta dua insan, tetapi juga untuk menjamin kehidupan yang teratur dan sesuai dengan kehendak Allah.
Dengan demikian, turuk empo berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai adat dan ajaran iman. Ia menjadi pedoman etika, sosial, dan spiritual untuk memastikan bahwa perkawinan tidak hanya sah secara agama dan negara, tetapi juga layak secara adat dan bermartabat secara sosial.
Relevansi Turuk Empo dalam Era Modern
Di tengah keterbukaan informasi dan migrasi yang tinggi, banyak orang Manggarai yang tinggal dan membentuk keluarga di luar tanah kelahiran. Generasi yang lahir dan besar di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau bahkan luar negeri, tidak lagi mengenal rumah gendang atau asal klannya. Hubungan dengan kampung halaman perlahan terputus. Dalam situasi seperti ini, penting bagi orang tua untuk tetap menanamkan kesadaran tentang turuk empo kepada anak-anak mereka (Nggadas, 2022).
Langkah-langkah praktis bisa diambil, seperti mendokumentasikan silsilah keluarga, menceritakan sejarah leluhur, atau sesekali membawa anak-anak pulang kampung dan memperkenalkan mereka kepada tetua adat dan kerabat jauh. Dengan demikian, meski hidup jauh dari tanah leluhur, identitas kultural tidak tercerabut begitu saja.
Lebih jauh, institusi gereja dan lembaga pendidikan juga dapat berperan dalam mempromosikan pemahaman tentang pentingnya garis keturunan dalam relasi sosial. Misalnya, sebelum pelaksanaan sakramen perkawinan, gereja bisa melibatkan tokoh adat untuk memastikan bahwa pasangan yang hendak menikah tidak berasal dari garis keturunan yang sama. Ini bukan hanya bentuk kerja sama antar lembaga, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap budaya lokal yang memiliki nilai luhur.

Hakikat Perkawinan: Lebih dari Sekadar Cinta
Perkawinan bukan hanya soal cinta dan kerelaan dua insan untuk hidup bersama. Ia adalah institusi sosial dan spiritual yang menyatukan dua keluarga, dua komunitas, bahkan dua sejarah kehidupan. Dalam konteks Manggarai, perkawinan adalah upacara adat yang penuh makna, yang menyatukan bukan hanya dua individu, tetapi dua wua (akar keturunan) dalam sebuah ikatan suci yang diakui adat dan diberkati oleh Tuhan.
Dengan memahami turuk empo, setiap orang disadarkan bahwa mereka adalah bagian dari sejarah panjang yang tak boleh diputuskan begitu saja oleh keputusan-keputusan pragmatis atau gaya hidup modern yang serba instan. Maka, ketika seseorang hendak menikah, pertanyaan pertama yang harus dijawab bukan sekadar “Apakah saya mencintainya?”, tetapi juga “Siapa leluhurnya?”, “Apa klannya?”, dan “Apakah kami seketurunan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk menghalangi cinta, tetapi untuk memastikan bahwa cinta tumbuh dalam lahan yang sehat, berakar dalam nilai, dan berbuah dalam martabat.
Menjaga Martabat Lewat Kesadaran Genealogis
Turuk empo adalah warisan budaya Manggarai yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia bukan sekadar daftar nama leluhur, tetapi sistem etika dan sosial yang menjaga masyarakat dari kekacauan moral dan konflik internal. Ketika kita abai terhadap sistem ini, kita bukan hanya menghadapi risiko kawin sedarah, tetapi juga kehilangan jati diri sebagai komunitas yang berakar kuat dalam nilai dan tradisi.
Dalam menghadapi fenomena kumpul kebo dan degradasi moral yang menyertainya, kembali kepada akar budaya bisa menjadi salah satu solusi yang bermartabat. Gereja, adat, dan masyarakat sipil harus bergandengan tangan untuk membangun kembali kesadaran genealogis di tengah generasi muda. Sebab, sebagaimana pepatah Manggarai berkata: Hi nana lelo tana, hi enu lelo awang– perbuatan melanggar asusila, maka sudah saatnya kita kembali ke akar budaya Manggarai yang sarat akan nilai-nilai luhur dan moral, termasuk budaya turuk empo.
Daftar Pustaka
Kleden, A. (2020). Turuk Empo dan Larangan Kawin Sedarah dalam Adat Manggarai. Kupang: Penerbit Nusa Lontar.
Katekismus Gereja Katolik. (1994). Edisi Resmi Terjemahan Indonesia. Jakarta: Obor.
Nggadas, E. (2022). Genealogi dan Identitas Budaya Masyarakat Manggarai di Era Migrasi. Makalah Seminar Budaya Manggarai, Universitas Katolik Widya Mandira.
Tamelan, S. (2018). “Ritual Pembersihan dalam Pelanggaran Adat Kawin Sedarah di Manggarai”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 39(2), hlm. 145–160.
Wea, B. (2007). Struktur Sosial Masyarakat Manggarai: Kajian Antropologi Budaya. Ende: Penerbit Ledalero.
Yusuf, H. (2021). “Kumpul Kebo dan Ancaman Kehilangan Silsilah: Refleksi Sosial atas Budaya Perkawinan di NTT”, Jurnal Sosial dan Budaya, Vol. 10(1), hlm. 55–70.
*) Penulis tinggal di Ende, Flores Nusa Tenggara Timur dan mulai menulis cerpen sejak tahun 2019. Rohaniawan katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus dan Alumni Stipar Ende. Penulis buku antologi cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal dan blog pribadi.