Mayat Tak Butuh Adat

Spread the love
Marselus Natar (Foto:Doc. HorizonDipantara.com)

Oleh: Marselus Natar*

Tulisan ini terinspirasi dari sepenggal kalimat yang diunggah pada laman akun Facebook milik Pius Rengka, yang berbunyi demikian: “Mayat Tak Butuh Adat”. Tulisan yang diunggah pada (Rabu, 19/02/2025) tersebut cukup menyentuh hati dan memantik nalar untuk berpikir tentang eksistensi adat istiadat dalam konteks kematian. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengendus apa maksud dan tujuan Pius Rengka menulis penggalan kalimat yang sedikit usil itu di laman Facebook-nya, melainkan berusaha untuk menalar, menakar dan merenungkan penggalan kalimat tersebut dalam konteks kehidupan masyarakat kita.

Adat istiadat sering dianggap sebagai tiang penyangga identitas budaya. Ia diwariskan turun-temurun sebagai wujud penghormatan kepada leluhur dan sebagai perekat sosial di tengah masyarakat. Namun, di balik itu, tak jarang adat justru menjadi belenggu yang mempersulit hidup manusia, bahkan setelah mereka mati. Salah satu contoh yang paling kentara adalah adat istiadat yang mengatur prosesi kematian.

Ketika seseorang meninggal, seharusnya yang tersisa hanyalah duka dan penghormatan terakhir. Namun, banyak masyarakat masih memandang kematian sebagai ajang pamer adat, yang kerap kali membebani keluarga yang ditinggalkan. Dari prosesi yang berlarut-larut hingga biaya yang mencekik, adat menjadikan kematian bukan lagi tentang mengenang yang pergi, melainkan tentang memenuhi tuntutan sosial yang kaku dan mahal. Bahkan, dalam beberapa kasus, adat istiadat kematian dapat memperpanjang penderitaan keluarga yang ditinggalkan dengan tekanan sosial yang tak terhindarkan.

Ambil contoh di beberapa daerah di Indonesia, di mana kematian seseorang tidak hanya diikuti dengan pemakaman sederhana, tetapi dengan serangkaian ritual yang kompleks. Ada keluarga yang harus menyembelih puluhan ekor kerbau, mengadakan pesta besar, dan menanggung utang hanya demi dianggap telah “melakukan yang terbaik” bagi arwah orang yang telah meninggal. Padahal, bagi yang sudah tiada, apakah benar mereka masih peduli dengan seberapa besar pesta yang diadakan untuk mereka? Mayat tak butuh adat. Yang butuh adalah orang-orang yang masih hidup, yang takut dicap tak beradab oleh masyarakat sekitar.

Di sisi lain, adat istiadat seputar kematian juga sering kali melahirkan ketakutan yang tidak perlu. Banyak orang dicekam oleh aturan-aturan yang seakan mutlak, seolah-olah jika ada satu langkah yang terlewat, arwah tidak akan tenang. Tidak boleh menangis terlalu keras, tidak boleh langsung mengubur, harus menunggu hari tertentu—semua ini memperpanjang penderitaan mereka yang berduka. Padahal, kematian sejatinya adalah sebuah kepergian yang tidak bisa ditawar, dan kepergian itu seharusnya dihadapi dengan ketulusan, bukan dengan ketakutan atau paksaan adat.

Yang lebih ironis, adat seputar kematian sering kali berbenturan dengan kondisi ekonomi keluarga. Di banyak daerah, pemakaman yang “layak” membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Mereka yang kurang mampu dipaksa mencari cara agar tetap bisa memenuhi adat, meskipun harus berutang atau menjual harta benda mereka. Banyak keluarga yang setelah menggelar upacara kematian, justru harus menanggung beban utang yang berkepanjangan. Apakah ini adil? Orang yang meninggal sudah selesai dengan dunia ini, tetapi yang hidup masih harus menanggung beban adat yang berlebihan.

Di beberapa daerah, pemakaman bukan sekadar ritual perpisahan, melainkan simbol status sosial. Semakin besar dan mewah upacara yang digelar, semakin dianggap berwibawa keluarga yang ditinggalkan. Di Toraja, misalnya, upacara Rambu Solo’ membutuhkan biaya yang fantastis dan bisa berlangsung hingga berbulan-bulan. Mayat disimpan dalam rumah sebelum pemakaman dilakukan, menunggu keluarga cukup mampu untuk menggelar upacara yang “pantas.” Begitu juga di Bali, prosesi Ngaben atau kremasi harus dilakukan dengan penuh adat yang rumit dan mahal, sering kali membuat keluarga menunda proses kremasi hingga bertahun-tahun.

(Foto Ilustrasi: Morgyn Church at Saatchi Art)

Adat bukanlah sesuatu yang sepenuhnya buruk. Dalam banyak hal, ia menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, mempererat ikatan sosial, dan menjaga nilai-nilai luhur. Namun, jika adat menjadi beban yang tidak masuk akal, sudah saatnya kita mulai mempertanyakan relevansinya. Apakah penghormatan kepada yang mati harus dilakukan dengan mengorbankan yang hidup? Mengapa sebuah tradisi harus tetap dipertahankan jika dampaknya lebih banyak membawa kesulitan daripada manfaat? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Di banyak negara, modernisasi telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap prosesi kematian. Banyak orang kini memilih pemakaman yang sederhana, tanpa embel-embel ritual yang berlebihan. Misalnya, di beberapa negara Barat, kremasi sering kali menjadi pilihan yang lebih praktis, menghindarkan keluarga dari biaya besar dan persiapan panjang. Di Jepang, konsep pemakaman sederhana dengan sedikit tamu juga mulai banyak diterapkan. Ini bukan berarti budaya mereka kehilangan nilai, tetapi justru menyesuaikan diri dengan keadaan sosial dan ekonomi masyarakat.

Sudah waktunya kita menyederhanakan prosesi kematian. Yang terpenting bukanlah seberapa megah ritual yang digelar, melainkan bagaimana kita mengenang dan meneruskan nilai-nilai baik dari orang yang telah pergi. Jika penghormatan terhadap leluhur memang bernilai penting, maka bentuk penghormatan itu seharusnya diwujudkan dalam tindakan yang lebih bermakna, seperti menjaga warisan moral dan kebajikan mereka, bukan sekadar ritual kosong yang melelahkan dan menguras sumber daya.

Penting juga untuk mengedukasi masyarakat agar memahami bahwa nilai seseorang tidak diukur dari seberapa besar upacara kematiannya. Sosialisasi dan kampanye untuk menyederhanakan prosesi kematian bisa menjadi langkah awal untuk mengubah paradigma ini. Pemerintah dan tokoh adat pun bisa berperan dalam merancang kebijakan yang lebih berpihak pada kemudahan dan keringanan bagi masyarakat.

Sebagai individu, kita juga bisa mulai dengan membentuk kesadaran dalam lingkup keluarga dan komunitas kecil. Kita bisa mendiskusikan bagaimana cara terbaik untuk memberikan penghormatan terakhir tanpa harus menanggung beban finansial atau emosional yang berlebihan. Media sosial dan diskusi publik dapat menjadi sarana untuk mengkampanyekan pentingnya perubahan dalam adat istiadat kematian yang lebih manusiawi dan relevan dengan zaman.

Karena pada akhirnya, mayat tak butuh adat. Yang butuh adalah kita, yang masih hidup, untuk melanjutkan kehidupan dengan lebih bijak dan tanpa belenggu yang tidak perlu. Kita harus berani mengambil langkah untuk menyesuaikan adat dengan zaman, tanpa menghilangkan esensi penghormatan itu sendiri. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa tradisi tetap memiliki makna, tanpa harus menjadi beban yang menyulitkan banyak orang.

*) Mahasiswa STIPAR Ende, juga bapak asrama SMAK Frateran Ndao Ende.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *