Lebih Dekat dengan Para Misionaris Indonesia

Spread the love
(Foto: Doc. NS)

Oleh: Nani Songkares, Pr.*

Berada beberapa hari di Amsterdam membuat saya sedikit lebih dekat mengalami kehidupan para misionaris kita.

Jumat pagi, 28 Februari 2025, saya mengikuti misa di Gereja St. Urbanus yang letaknya bersebelahan dengan Komunitas SVD tempat saya nginap.

Mula-mula saya hanya mau hadir bersama umat. Namun, P.  Melvin Victor, SVD, imam muda dari India memanggil saya ke sakristi, dan minta agar saya memimpin misa bersama-sama di altar. Dia pimpin misa dalam bahasa Belanda. Saya berdiri saja di sampingnya.

Misa tepat jam 09.00. Saat saya sudah siap, Melvin mengingatkan, “One more minute, Father!” Ketepatan waktu. Itu kultur yang melekat. Kereta api, misalnya, punya jadwal yang tepat. Tidak sembarangan. Disiplin. Sampah sekecil apa pun tidak dibuang sembarangan. Yang melanggar akan dikenakan sanksi berupa denda. “Misalnya, kalau lupa gosok kartu untuk bayar dan harganya 10 Euro. Kali berikut dendanya 2 kali lipat menjadi 20 Euro. Lupa lagi, kali berikut 40 Euro. Dan seterusnya. Jadi kau tidak boleh sembarangan!” tutur Marianus.

Umat yang hadir lumayan, kurang lebih 20 orang, terutama kaum dewasa dan lansia. Melvin membawakan renungan secara spontan, dengan bahasa Belanda yang fasih.

Pater Marianus dan Pater Yan punya kesibukan yang berbeda-beda: memimpin misa di beberapa tempat, dan menghadiri pertemuan.

Masalah kebahasaan, tentu tantangan tersendiri buat para misionaris. Bagaimana supaya mereka bisa berkomunikasi dengan umat setempat. Bagaimana supaya bisa berdialog, memahami kultur, adat istiadat setempat.

Itu baru bahasa, belum tantangan yang lain yang lebih besar. “Kekuatan saya adalah iman. Saya datang untuk menjadi kuli Kristus,” ungkap Marianus. Dia tidak ingin menyebut dirinya ‘pelayan’ Kristus. “Saya pernah bertemu Mgr. Van Bekkum, SVD. Dia tertawa waktu saya katakan mau menjadi pelayan Tuhan. “Pelayan? Lihat di restoran-restoran. Pelayan-pelayan itu hidup mewah. Kita bukan pelayan, kita kuli Kristus,” demikian Marianus meniru Mgr. Van Bekkum, SVD.

Sebagai kuli hidup penuh tantangan. “Seorang kuli Kristus tidak bisa lari dari tantangan, tapi harus menghadapinya!” tegasnya.

Kedatangan Marianus di Belanda tidak serta merta diterima. Yang dia lakukan pertama-tama adalah menjadi relawan pemasak soup bagi para tunawisma. Dia lakukan itu selama 10 tahun. Akhirnya melalui pelayanan itu dia dikenal, dan diterima.

Sekarang bersama tiga rekan misionaris lainnya dari bangsa yang berbeda-beda (Indonesia, Afrika, dan India) dia dipercayakan menangani lima paroki.

Keluwesan untuk menyesuaikan diri. Itu tantangan tersendiri. Butuh semacam pengosongan diri. “Kita tidak bisa membandingkan, oh kami di Indonesia itu begini. Kita harus memeluk kebudayaan mereka, menghayati hidup mereka, menjadi satu dengan mereka, menjadi saudara mereka, baru dengan itu kita dapat berbuat sesuatu,” kata Konrad Haribaik, misionaris Indonesia di Filipina.

Di rumah, mereka mengurus semua kebutuhan rumah tangga sendiri. Masak. Cuci. Membersihkan rumah. Tidak ada pelayan. Tidak ada karyawati. Di tengah umat, mereka menghadapi orang-orang Belanda yang tidak gampang diajak bekerja sama pada awalnya. Namun, mereka tidak menyerah. Mereka terlatih mandiri dan ulet.

Menarik bahwa dulu hal itu dilakukan misionaris dari Eropa di Indonesia demi pewartaan Injil. Sekarang Indonesia melakukannya untuk Eropa, dan banyak misionaris berhasil.

“Misionaris kita dari NTT punya daya tahan dan keuletan. Mereka sudah terbiasa menderita dan tidak takut mengambil risiko,” sambung Aurel. Komunitas SVD di Amsterdam misalnya, menjadi contoh komunitas-komunitas misionaris di tempat lain.

Setiap kali mereka berkisah, pikiran saya berlari ke pendidikan di Seminari. Bagaimana nilai-nilai seperti daya tahan, tidak takut risiko, keluwesan menyesuaikan diri, pengosongan diri, kemampuan “passing over”, yakni keluar dari diri untuk memeluk budaya lain dengan kerendahan hati yang otentik, disiplin, mau repot pada hal-hal kecil dan sederhana demi pelayanan yang besar, terampil berdialog dan berkomunikasi, ketajaman menemukan jembatan-jembatan kecil untuk masuk ke dalam hati orang – semua itu bisa ditanamkan dalam diri anak-anak kita?

Bagaimana tetap beriman teguh di tengah masyarakat yang amat sekuler sampai akhirnya perlahan masyarakat sekuler itu membuka lagi hati mereka untuk kekuatan Tuhan? Bagaimana terus berakar dalam Firman Tuhan dan pada saat yang sama menadi misioner?

Ini pertanyaan-pertanyaan tidak bisa dijawab dengan penjelasan, tapi dengan penghayatan hidup dalam keseharian. Para misionaris itu mencoba menghayatinya dari waktu ke waktu.

“Kurang lebih 10 tahun lalu televisi di Belanda penuh sajian yang sekular, bahkan bertentangan dengan iman. Pornografi bisa ditemukan di mana-mana. Saat ini, televisi mulai berbicara tentang Tuhan. Ini perubahan besar!” jelas Marianus.

Apakah ada peran misionaris di dalam perubahan itu? Secara manusiawi kita tidak bisa sampaikan secara tegas, tapi Tuhan meneguhkan kita dengan banyak sekali perumpamaan, misalnya tentang biji sesawi, tentang biji gandum, tentang kesetiaan pada perkara-perkara kecil.

“Vivat Cor Jesu in cordibus hominum –  Hiduplah hati Yesus dalam hati semua orang”! Doa ini setiap hari diucapkan para misionaris kita.

*) Penulis adalah imam katolik dan pendidik di lembaga pendidikan Seminari St. Yohanes Berchmans Todabelu – Mataloko, Ngada, NTT. Tulisan di atas adalah salah satu catatan perjalanan penulis ke Eropa, yang dimuat di website SMA Seminari Mataloko (https://smaseminaristyohanes berkhmanstodabelu.sch.id/).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *