Jembatan Donatur dan Para Korban (Sebuah Sentilan Kemanusiaan)

Spread the love

Oleh: Stefanus Wolo Itu*

Hari Minggu 19 Januari 2025, saya diundang lembaga donor Kirche in Not Swiss di kota Luzern. Kirche in Not adalah sebuah lembaga internasional katolik yang bernaung di bawah Vatikan. Lembaga ini menggerakan aksi belarasa untuk para Uskup, imam, biarawan/wati, dan umat kristiani. Khususnya mereka yang mengalami penindasan dan keterbatasan sarana-prasarana pewartaan iman. Ungkapan solidaritas bisa berupa doa, ekaristi, hiburan moril, bantuan finansial, dan material lainnya. Setiap tahun Kirche in Not punya 6000 proyek di hampir 130 negara.

Saya mengenal Kirche in Not tahun 2017. Sejak itu saya aktif menjadi mitra kerja. Bersama umat paroki saya mendukung penggalangan dana untuk mereka yang menderita. Saya pernah menerima kehadiran Uskup Klemens dari Rusia, Uskup Kabashi dari Albania, dan Uskup Kiro dari Macedonia Utara. Dan tak lupa rekan-rekan imam dari Afrika. Mereka mengisahkan krisis ekonomi dan politik akibat perang. Tantangan pastoral sangat berat. Mereka juga harus berjuang mempertahankan hidup.

Saya coba membandingkan tantangan pastoral sejak di Flores hingga Swiss saat ini. Jujur saja pengalaman mereka jauh lebih sulit. Tidak pantas dibandingkan. Mereka memiliki daya tahan istimewa. Saya harus mengangkat topi! “Hidup itu penuh dengan penderitaan. Tapi kita bisa menemukan makna dalam penderitaan bila kita bertahan hidup”, bisik Abbe André, rekan imam dari Burkina Faso, Afrika.

Acara tahunan Kirche in Not selalu diawali perayaan ekaristi di gereja Jesuit Luzern. Gereja besar pertama bergaya Barock di Swiss yang didirikan tahun 1666-1677. Saya selalu menjadi salah satu konselebran. Kami mendoakan khusus arwah pendiri Kirche in Not, Pater Werenfried van Straaten. Tak lupa mendoakan para imam, biarawan/wati, dan umat kristiani yang menjadi korban penganiayaan selama tahun 2024. Nama mereka disebut dalam doa umat. Sebatang lilin dinyalakan bagi mereka di depan altar.

Presiden Kirche in Not Swiss, Jan Probst, melaporkan data korban penindasan selama tahun 2024. Jumlah kasusnya meningkat bila dibandingkan tahun 2023. Selama setahun terdapat 121 kasus penyerangan terhadap imam, biarawan/wati, dan komunitas katolik. Ada 13 kasus pembunuhan, 37 kasus penculikan, dan 71 kasus penangkapan. Peningkatan jumlah kasus ini menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebebasan beragama di berbagai negara.

Banyak umat kristiani mengalami kesulitan dalam mengekspresikan iman. Para uskup, imam, dan biarawan/wati mengalami tantangan hebat dalam karya misi. Kirche in Not mencatat bahwa Nigeria dan Haiti merupakan negara paling berbahaya untuk para misionaris. Meski demikian, para imam dan biarawan/wati di sana tetap semangat bermisi. Benar juga kata filsuf, negarawan, dan sastrawan Romawi, Lucius Annaeus Seneca: “Api menguji emas, penderitaan menguji orang pemberani”. Apresiasi istimewa untuk para misionaris pemberani!

Setiap tahun Kirche in Not mengundang selebran utama dan pengkotbah yang berbeda. Mereka itu bisa seorang kardinal, uskup, pimpinan biara atau imam. Saya sempat diminta, tapi saya menolak. Saya merasa belum layak berdiri di mimbar dan altar terhormat itu. Saya sempat berguyon dengan Presiden Kirche in Not Swiss, Jan Probst: “Saya bersedia datang, memimpin perayaan, dan berkotbah bila sudah kembali ke Flores nanti. Lebih bergengsi datang dari belahan dunia ketiga Flores, ketimbang naik kereta dan bus dari Eiken ha ha……”

Kali ini Kirche in Not Swiss mengundang P. Dr. Anton Lässer CP, Direktur Spiritual Kirche in Not internasional yang berpusat di Königstein Frankfurt Jerman. “Saat ini Kirche in Not memiliki 24 kantor di seluruh dunia. Di Asia Pasifik hanya ada di Korea Selatan, Philipina, dan Timor Leste,” kata P. Anton, saat berjalan bersama menuju Restaurant Balances, tepi sungai Reus. Saya menimpalinya, “Wah belum ada kantor di Indonesia. Siapa tahu suatu saat Kirche in Not bisa berkantor di Jakarta atau Flores. Saya siap menjadi pendamping spiritual seperti P. Anton.” Kami tertawa terbahak-bahak. Beliau katakan, “Stefan, semua bisa saja terjadi. Siapa tahu dan siapa takut.”

Sejak tahun 2023 beliau menjadi Direktur Spiritual Kirche in Not internasional di Frankfurt Jerman. Ia pernah menjadi rektor Seminari Leopoldinen Heiligkreuz Austria. Ia seorang jurnalis dan pendiri Radio Horeb. Radio Horeb adalah salah satu penyalur berita katolik yang memiliki studio di Balderschwang, München, Kevelaer, Berlin, dan Ravensburg Jerman. Banyak orang mengenal P. Anton sebagai figur karismatis.

Ia berkotbah sambil tersenyum. Pilihan katanya menyentuh. Lukisan kisahnya detail dan alur ceriteranya mengalir. Wawasannya tentang situasi penindasan umat kristiani mendunia dan mendalam. Ia mempelajari aneka ilmu pada universitas-universitas berbeda. Kecerdasan itu diperkaya lagi dengan pengalaman perjumpaan, dialog kasih dengan para korban, dan refleksi atasnya.

P. Anton men-sharing-kan penderitaan hidup di Timur Tengah. Khususnya Suriah dan Libanon. Kita perlu memberikan perhatian bagi mereka. Konflik bersenjata, pertarungan kelompok militan, ketidakstabilan politik dan ekonomi, membawa dampak negatif. Masyarakat kehilangan tempat tinggal. Kemiskinan semakin ekstrim dan meningkatnya penderitaan. Kita mesti menolong mereka. “In der Mitte von Krieg und Not den Glauben am Leben halten (di tengah kesulitan perang, kita harus menjaga agar iman tetap hidup),” tegas Pater Anton.

Setelah makan siang, Direktur komunikasi Kirche in Not Swiss, Ivo Schürmann, membagikan pengalaman kunjungannya ke Venezuela, Amerika Tengah. Di sana terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Opisisi politik pro demokrasi ditindas. Masyarakat sipil dan bahkan anak-anak ditangkap secara sewenang-sewenang oleh penguasa. Mereka ditangkap tanpa ada jaminan hukum yang adil.

Saya menarik satu benang merah harapan baik dari Jan Probst, P. Anton Lässer, dan Ivo Schürmann. Kita perlu berbelarasa dengan para penderita. Mereka adalah “orang-orang kalah” atau “sengaja dikalahkan” dalam menggapai kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang tersalib zaman ini. Kirche in Not dan semua rekan kerja memposisikan diri sebagai jembatan, penyalur, dan perantara.

Kita terpanggil menjadi jembatan antara para donatur dan korban penindasan. Kita berkomitmen menjadi jembatan yang tulus dan jujur. Jauh dari keinginan untuk menyalahgunakan kepercayaan para donatur dan mencuri kebahagiaan para korban. Kebahagiaan adalah kesetiaan. Setia atas indahnya merasa cukup. Setia atas indahnya berbagi. Setia atas indahnya ketulusan berbuat baik.

*) Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel-Swiss. Ditulis di Eiken AG Swiss, Selasa Malam 21 Januari 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *