Gereja Bhoanawa dan Komitmen Kebangsaan

Spread the love
Marselus Natar (Foto: Doc. MN)

Oleh: Marselus Natar*

Keberadaan gereja kuasi St. Donatus Bhoanawa, yang terletak di Kelurahan Rukun Lima, Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, cukup menarik perhatian publik. Gereja ini tergolong unik dan menarik, lantaran bagian bangunannya dipasang ornamen sila-sila Pancasila. Ornamen sila-sila Pancasila yang dimaksudkan adalah simbol kelima butir Pancasila yang meliputi: Bintang (simbol sila pertama), Rantai (simbol sila kedua), Pohon Beringin (simbol sila ketiga), Banteng (simbol sila keempat), Padi dan Kapas (simbol sila kelima). Lambang Pancasila serta simbol kelima butir Pancasila, idealnya hanya ada atau terpampang di bangunan atau ruangan gedung pemerintahan, rumah-rumah jabatan Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, lembaga pendidikan, tetapi sila-sila Pancasila tersebut juga terpampang secara jelas dan nyata di bangunan gedung gereja Katolik St. Donatus Bhoanawa, Kevikepan Ende, Keuskupan Agung Ende.

Fenomena ini menegaskan bahwa simbol-simbol Pancasila yang merupakan pilar ideologis bangsa dan digali dari kearifan lokal masyarakat Indonesia adalah milik seluruh warga Negara Indonesia, termasuk warga masyarakat Bhoanawa. Karena itu, menjadikan ornamen sila-sila Pancasila sebagai bagian dari bangunan gereja kuasi St. Donatus Bhoanawa merupakan suatu hal yang wajar sebagai bentuk rasa nasionalisme dan komitmen mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, fenomena ini adalah fakta bahwa Pancasila tidak hanya sekadar diskursus pada ruang hampa yang penuh dengan indoktrinasi dan minus makna. Nilai Pancasila merupakan nilai abstrak yang perlu diformulasikan dalam tataran kehidupan praksis, sehingga nilai Pancasila tidak sekadar melangit tetapi membumi.

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kota Ende tentu mengenal Pancasila. Pancasila merupakan pilar ideologis bangsa Indonesia. Sebagai ideologi bangsa Indonesia, Pancasila lahir bukan tanpa akar sejarah yang kuat. Secara historis, Pancasila lahir sebagai ideologi bangsa yang diambil dari kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perspektif historis menyatakan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila sudah diterapkan di kalangan masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia menjadi suatu bangsa yang merdeka. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal. Nilai-nilai luhur tersebut tersirat dalam sila-sila Pancasila antara lain: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia. Menarik bahwa setiap sila-sila Pancasila tersebut, memiliki lambang masing-masing.

π‘†π‘–π‘™π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘šπ‘Ž: β€œKetuhanan Yang Maha Esa”, dilambangkan dengan Bintang. Lambang tersebut mengandung maksud agar warga negara Indonesia terus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya atas dasar agama dan kepercayaan masing-masing.

Hal ini sesuai dengan pandangan hidup dan perspektif kehidupan berbangsa yang bersifat religius. Nilai-nilai yang dikembangkan untuk membangun warga bangsa Indonesia yang bermartabat, yakni nilai keimanan dan ketakwaan, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, saling hormat menghormati.

π‘†π‘–π‘™π‘Ž π‘˜π‘’π‘‘π‘’π‘Ž: β€œKemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dilambangkan dengan Rantai. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkaitan membentuk lingkaran.

Keterkaitan itu memiliki makna bahwa bangsa Indonesia saling terkait erat, saling bahu-membahu, dan saling membutuhkan, tenggang rasa, saling menghargai, dan saling tolong-menolong, membela kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia di dunia ini sama antara yang satu dengan yang lain, tidak ada bangsa yang lebih tinggi kedudukannya dibanding bangsa lain.

π‘†π‘–π‘™π‘Ž π‘˜π‘’π‘‘π‘–π‘”π‘Ž: β€œPersatuan Indonesia”, dilambangkan dengan Pohon Beringin yang lebat daunnya, hijau, rimbun sehingga bisa digunakan untuk berteduh dan berlindung bagi siapa saja.

Nilai-nilai yang termaktub di dalam lambang ini misalnya persatuan dan kesatuan, saling melindungi, rela berkorban, rasa cinta pada tanah air, bangga sebagai bangsa Indonesia sekaligus bangga dengan budaya bangsanya.

π‘†π‘–π‘™π‘Ž π‘˜π‘’π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘‘: β€œKerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, dilambangkan dengan Kepala Banteng. Simbol Kepala Banteng memiliki filosofi sebagai hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah, di mana orang-orang berdiskusi untuk melahirkan suatu keputusan.

Masyarakat Indonesia merupakan komunitas yang masing-masing individu memiliki kedudukan yang sama, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Inilah inti dari kehidupan demokrasi, yang di Indonesia memiliki ciri yang khas, yakni musyawarah untuk mufakat, yang dijalankan secara jujur dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang terkandung pada sila keempat ini, antara lain: demokrasi, persamaan, mengutamakan kepentingan negara, tidak memaksakan kehendak, musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan semangat kekeluargaan, kesantunan dalam menyampaikan pendapat, jujur dan tanggung jawab.

π‘†π‘–π‘™π‘Ž π‘˜π‘’π‘™π‘–π‘šπ‘Ž: β€œKeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ini memberikan semangat dan motivasi bagi pimpinan dan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan yang merata (adil) bagi bangsa Indonesia. Padi melambangkan pangan dan kapas melambangkan sandang. Dengan lambang ini diharapkan semua rakyat Indonesia dapat menikmati kemakmuran, kesejahteraan, cukup pangan, cukup sandang.

Oleh karena itu, sila kelima ini sekaligus memberikan semangat dan motivasi para pimpinan dan semua unsur masyarakat untuk mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah prinsip keadilan sosial yang perlu diwujudkan sesuai dengan amanat sila kelima Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain: keadilan, gotong-royong dan saling tolong menolong, tanggung jawab, kerja keras dan kemandirian. Eksistensi dan pemaknaan atas lambang sila-sila Pancasila sebagaimana diuraikan di atas merupakan suatu hal yang final.

Gereja St. Donatus Bhoanawa (Foto: Doc. MN)

Menurut RD. Dominikus Nong (pastor gereja kuasi St. Donatus Bhoanawa), simbol Pancasila yang menjadi bagian dari bangunan gereja kuasi St. Donatus Bhoanawa dilatarbelakangi oleh beberapa konteks, antar lain; konteks historis, konteks geografis, konteks kultural, konteks teologis dan konteks pastoral. Konteks historis didasari oleh fakta sejarah bahwa Ir. Soekarno pernah diasingkan di Ende, Flores. Selama masa pengasingan di Ende, Ir Soekarno merumuskan pokok-pokok pikiran terkait pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Beberapa tempat bersejarah, seperti Rumah Pengasingan Seokarno, Serambi Soekarno, Taman Renungan Soekarno merupakan fakta-fakta sejarah yang sudah diketahui secara universal oleh masyarakat Indonesia dan menjadi bagian dari sejarah kebangsaan.

Konteks historis inilah yang kemudian menjadi dasar pijak pastor Dominikus Nong untuk menjadikan simbol sila-sila Pancasila menjadi bagian dalam bangunan gereja kuasi St. Donatus Bhoanawa. Selain konteks historis, juga didasari konteks geografis. Secara geografis, Bhoanawa diapiti oleh tiga buah gunung yakni, Gunung Meja, Gunung Ia dan Gunung Kengo. Bhoanawa menjadi tempat strategis karena letak geografisnya yang diapiti tiga buah gunung. Dalam permenungan Pastor Domi, ketika Ir. Soekarno keluar dari Rumah Pengasingan menuju Taman Renungan atau Biara St. Yoseph, pandangan matanya pasti selalu ke arah Bhoanawa. Permenungan pastor Domi tersebut kemudian menjadi bagian dari ide dasar dipasangnya sila-sila Pancasila pada bagian bangunan gereja kuasi St. Donatus.

Selain kedua konteks di atas, konteks lain yang menginspirasi Pastor Domi adalah konteks kultural. Ende merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan, kemanusiaan dan ketuhanan. Gambaran kehidupan religius di Ende, menunjukkan bahwa gereja dan masjid berdiri berdampingan, masyarakat membaur dalam adat-istiadat yang sama tanpa tersekat oleh perbedaan agama. Dalam perayaan keagamaan, mereka saling bersilaturahmi untuk mempererat rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Selain dari pada itu, bentuk konkret dari konsep persaudaraan dan kekeluargaan juga diejawantahkan dalam sikap kesetiaan dan kesiapsediaan dalam menjaga keamanan dan ketertiban saat perayaan keagamaan sedang berlangsung di gereja atau masjid sebagaimana dilakukan oleh kelompok remaja yang bergabung dalam kelompok Remaja Masjid dan Orang Muda Katolik. Bentuk konkret dari nilai persaudaraan dan kekeluargaan tersebut sudah menjadi budaya yang diwarisan leluhur secara turun temurun hingga kini.

Selama masa pengasingan di Ende, Ir. Soekarno tentu mengalami secara langsung konteks budaya lokal masyarakat Ende dan budaya masyarakat Indonesia secara umum untuk dijadikan landasan berpikir dalam merumuskan ideologi bangsa Indonesia. Dokumen Konsili Vatikan II πΊπ‘Žπ‘’π‘‘π‘–π‘’π‘š 𝑒𝑑 𝑆𝑝𝑒𝑠 (GS) tentang gereja di dunia dewasa ini, mengingatkan bahwa manusia hanya dapat mencapai kepenuhan kemanusiaan yang sejati melalui kebudayaan, dengan memelihara apa yang baik dan bernilai pada kodratnya (GS 53). Kebudayaan sesungguhnya mencakup keseluruhan hidup manusia: manifestasi diri, profesi, agama dan moralitas, norma dan nilai yang memberi ciri pada sesuau konteks historis, sosial dan etnologis. Hal inilah yang kemudian menginspirasi Pastor Domi untuk menjadikan sila-sila Pancasila menjadi bagian dari bangunan gereja di Bhoanawa. Konteks lain yang menginspirasi Pastor Domi adalah konteks teologis. Nilai-nilai luhur yang terimplisit dalam budaya masyarakat Indonesia selaras dengan nilai-nilai teologis.

Nilai-nilai seperti kerukunan, kasih dan persaudaraan, kekeluargaan, toleransi, kedamaian yang merupakan implementasi atas nilai-nilai luhur dalam budaya masyarakat Ende sejajar dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan bagi manusia. Gereja meyakini bahwa segala yang baik dan benar, segala yang indah dan mulia, pada budaya-budaya lokal merupakan bagian utuh dari fakta keterciptaan dunia sebagai manifestasi diri Allah dan Roh Kudus yang berkarya serta menginspirasi siapa saja, jauh mendahului peristiwa misi formal Gereja.

*π‘·π’†π’π’–π’π’Šπ’” 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’ˆπ’–π’“π’– π’Žπ’‚π’ˆπ’‚π’π’ˆ π’…π’Š 𝒑𝒆𝒓𝒃𝒂𝒕𝒂𝒔𝒂𝒏 π‘°π’π’…π’π’π’†π’”π’Šπ’‚-π‘΄π’‚π’π’‚π’šπ’”π’Šπ’‚. 𝑩𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 π’„π’†π’“π’‘π’†π’π’π’šπ’‚ 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 π’…π’Šπ’‘π’–π’ƒπ’π’Šπ’Œπ’‚π’”π’Šπ’Œπ’‚π’ π’…π’Š 𝑺𝒖𝒓𝒂𝒕 𝑲𝒂𝒃𝒂𝒓 π‘―π’‚π’“π’Šπ’‚π’ 𝑷𝒐𝒔 π‘²π’–π’‘π’‚π’π’ˆ, 𝑾𝒂𝒓𝒕𝒂 π‘­π’π’π’ƒπ’‚π’Žπ’π’“π’‚ 𝒅𝒂𝒏 𝑴𝒂𝒋𝒂𝒍𝒂𝒉 𝑢𝑰𝑲𝑢𝑺.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *