Berkah Kapitan Pattimura

Spread the love
Tamrin Amal Tomagola (Foto: Doc. TAT)

Oleh: Tamrin Amal Tomagola*

Awal minggu kedua Mei 1967. Sudah hampir dua tahun saya mengajar di SMP Yasin Gamsungi, Galela, setamat dari SMA Negeri Ternate, 1965. Kondisi ekonomi rumah tangga orang tua masih tetap pas-pasan, hanya sekadar menyambung hidup dari hari ke hari. Mama Afiah dibantu Nenek Nurma setiap malam harus bekerja hingga larut malam mengolah dan menyiapkan bahan membuat roti-manis untuk dipanggang esoknya menjelang subuh .

Itulah saat-saat saya terjatuh ke dalam depresi berat karena semakin sirnanya harapan bisa melanjutkan pendidikan ke universitas. Saya berusaha berdamai dengan diri sendiri untuk bisa menerima kenyataan pahit: berhenti sekolah sesudah SMA.

Tak disangka, tak dinyana, di suatu pagi yang cerah, datang suatu keajaiban berkah tanpa terduga sebelumnya. Kapal Bogowonto milik Perusahaan Pelayaran Swasta Jakarta Lloyd, membuang sauh di pantai teluk Galela. Penumpangnya yang sebagian kecil adalah tentara Kodam XV Pattimura serta sejumlah anak muda berpakaian perlente, menenteng aneka instrumen musik turun ke darat. Mereka langsung ke rumah dinas Camat Galela. Dengan cepat berhembus kabar bahwa selama tiga malam ke depan akan ada Perayaan Peringatan Hari Pattimura, 15 Mei 1967, dengan sederet acara kesenian di halaman depan rumah dinas Camat.

Saya tidak terlalu antusias dengan berita itu. Saya tetap dengan kebiasaan saya seusai mengajar, duduk di beranda depan sambil mengangkat kaki di jendela, melamun memperhatikan jalan di depan rumah orang tua. Sekelebat pandangan mata saya tertumbuk pada dua orang tua yang sedang menuju ke rumah kami sambil bercakap-cakap akrab. Orangtua yang berbadan kecil saya kenal. Beliau, Bapak B.S. Rauf adalah sahabat Abah Ali Amal sesama pengurus Muhammadiyah dan Partai Masyumi Cabang Galela. Orang tua yang satu lagi baru hari itu saya melihatnya.

Tamu yang tak saya kenali yang itulah yang lebih dulu mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum”. Saya jawab salam kedua tamu dan mempersilakan masuk sambil setengah berteriak memanggil Abah dan Mama. Abah saya muncul dari ruang tengah dan mengajak kedua tamu itu masuk.

Percakapan antar mereka terdengar akrab dan guyub karena tamu yang belum saya kenal itu ternyata adalah Bapak Al-Djufri, pengurus Muhammadiyah Surabaya sekaligus pedagang kopra. Beliaulah yang men-charter kapal Bogowonto berkeliling membeli kopra di sejumlah tempat di Maluku Utara sekaligus membawa Rombongan Kodam XV Pattimura yang sedang merayakan peringatan penyerbuan Benteng Belanda di Saparua oleh rakyat yang dipimpin oleh Thomas Matulessy yang lebih terkenal dengan nama: Kapitan Pattimura, pada tanggal 15 Mei 1817.

Ketika saatnya makan siang tiba, kedua tamu itu ditahan untuk makan siang bersama. Hanya ada empat kurai makan: dua untuk kedua tamu sedangkan yang dua lagi diduduki Aba Ali dan Mama Afiah. Mama duduk berseberangan dengan Bapak Al-Djufri. Seusai makan siang, keempat orang tua itu masih terus duduk di sekeliling meja makan.

Saya kemudian datang dan berdiri di belakang kursi Mama Afiah. Sambil memegang bahu Mama, saya bisikkan permintaan saya: “Mama, tolong minta ke Bapak Al-Djufri agar saya bisa menumpang kapal bersamanya ke Jakarta”. Mama masih terdiam beberapa saat. Sungkan rupanya. Tak sabar, saya dorong perlahan punggung Mama agar berani meminta tolong. Akhirnya, Mama saya dengan terbata-bata meminta tolong agar saya bisa ikut bersamanya ke Jakarta.

Jawaban Bapak Al-Djufri membuat saya mencium belakang kepala Mama sebab Sang Tamu dengan tersenyum berkata: “O bisa sekali, kapal sebesar itu hanya memuat kopra di palka-palkanya dengan hanya sedikit penumpang”.

Jadilah saya dapat berangkat ke Jakarta menumpang kapal Bogowonto. Pelayaran ke Jakarta memakan waktu lebih dari sebulan karena kapal singgah-singgah di banyak tempat di Maluku sebelum menuju Surabaya dan akhirnya ke Jakarta.

Tiba di Tanjung Priok, saya diajak Ustadz Husain Ali, mantan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Maluku Utara untuk ikut dengan beliau yang sudah ditunggu oleh Ustadz Mohammad Soleiman dengan mobil Morris di dermaga.

Alhamdulillah, berkah kelapangan jalan menuju bangku kuliah semakin terbuka-lancar. Jadilah saya dan Ustadz Husain Ali menumpang Morris Ustadz Mohammad Soleiman ke rumahmya di Jalan Raya Bogor 130 R, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dua minggu kemudian Ustadz Husain Ali kembali ke Ternate sedangkan saya terus tinggal di rumah yang sangat besar dan panjang ke belakang dengan banyak kamar berjejer layaknya sebuah kapal besar.

Ustadz Mohammad Soleiman adalah anak-angkat Bapak Arnold Monomutu, tokoh nasionalis pengikut setia Bung Karno. Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Pribadi Bapak Moh. Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi dan mantan Perdana Menteri RI yang berhasil mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan pada 01 Januari 1950 sesudah sempat beberapa tahun berwujud negara federal ciptaan Letnan Jenderal Van Mook.

Ketika membaca pengumuman di koran-koran bahwa Universitas Indonesia akan mengadakan seleksi mahasiswa baru di Istora Senayan, saya bergegas ke kediaman Om Idrus Djoge a.k.a Indonesia O’Galelano dan Bi Djena di jalan Hayam Wuruk 73 untuk meminjam uang agar bisa beli Formulir Pendaftaran UI seharga Rp. 125. Saya pinjam Rp. 150 agar ada ongkos angkot ke jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat.

Dengan bantuan Almarhum Daud, teman sekamar yang sudah kuliah di Fakultas Kedokteran YARSI waktu itu, saya mengisi formulir pendaftaran yang kemudian esoknya diantar ke Loket Pendaftaran Rektorat UI di jalan Salemba 6.

Dengan berjalan terpincang-pincang karena kedua kaki saya lecet-lecet oleh sepatu pinjaman yang kesempitan, selama dua hari berturut-turut saya mengikuti Ujian Saringan masuk UI di Istora Senayan. Hari pertama, saat ujian Pengetahuan Umum/Sejarah dan Bahasa Indonesia, saya sudah selesai menjawab semua pertanyaan setengah jam lebih awal dari batas waktu pengerjaan. Dengan bersiul-siul saya menyerahkan lembar jawaban ke petugas dan langsung pulang. Tapi pada hari kedua, saat menjawab soal-soal saringan Bahasa Inggris, saya terpaku di bangku ujian sampai detik-detik terakhir batas waktu.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba di awal tahun 1968: pengumuman daftar mahasiswa baru yang diterima. Masih segar dalam ingatan saya, berdesak-desakan di depan papan-kaca pengumuman di Salemba 6 dengan hati berdebar-debar perlahan mengeja 125 nama mahasiswa baru FH-IPK UI yang dideretkan dalam lima helai kertas pengumuman. Sesudah empat helai terbaca, belum juga menemukan nama saya. Tinggal satu helai paling terakhir. Benar-benar sport-jantung! Ya ampuuun, nama saya tercantum di samping angka 125.

Alhamdulillah, lolos lubang jarum, diterima sebagai mahasiswa baru FH-IPK UI Angkatan 1968. Sebulan kemudian pendaftaran sebagai mahasiswa tetap dimulai. Tapi tentu saja harus membayar uang kuliah terlebih dahulu. Segera saya kirim telegram ke Abah Ali minta dikirimi uang kuliah. Abah Ali terpaksa menjual Si Merah, satu-satu nya sapi beban penarik gerobak pencari nafkah keluarga kami. Si Merah terjual seharga Rp. 3000,- yang kemudian dibagi dua antara saya di UI Jakarta dengan Mursyid Amal, adik no. 2 di Unhas, Makasar.

Sesudah membayar uang kuliah di awal Februari 1968, kuliah-kuliah pun dimulai. Enam hari dalam seminggu, dengan sangat bangga saya mengenakan jaket kuning naik angkot ke Kampung Melayu dan terus nyambung ke Salemba untuk kuliah. Tak hanya itu, ke mana-mana saya terus berjaket-kuning. Pamer, anak UI nih yeee! Tapi sedikit terbesit keprihatinan ketika mengetahui sayalah satu-satunya dari 4 calon mahasiswa Maluku Utara yang diterima di UI.

Tantangan perjuangan berikut adalah dari mana didapat uang untuk ongkos dua kali naik angkot ke Salemba? Alhamdulillah, saya masih tertolong oleh sohib sedari awal kuliah: Moh Aslam Sumhudi, anak Surakarta yang kakaknya adalah pegawai tinggi di Departemen Sosial RI, sehingga punya mobil. Bila kebetulan saya dilihat berdiri di pinggir Jalan Raya Bogor, biasanya saya diajak Aslam ikut dengan kendaraan kakaknya itu. Tapi adakala, kami bersalipan.

Mata kuliah favorit saya adalah: Pengantar Ilmu Politik yang diberikan oleh Almarhumah Prof. Miriam Budiardjo. Jam kuliahnya, setiap Senin pagi jam 07.00 s/d jam 08.30. Prof Miriam sangat tepat waktu. Maka terbirit-birit lah saya bergegas setiap Senin pagi. Pernah pada suatu Senin, saya tidak punya ongkos angkot sama sekali. Tak kehabisan akal, sesudah subuh saya berusaha menyetop truk-truk yang lewat depan rumah. Biasanya para sopir mau berhenti menunggu saya melompat ke bak truk. Bila beruntung, saya ikut dalam bak truk sampai Jembatan By Pass Jatinegara. Saya ketok atap tempat sopir minta berhenti. Begitu truk berhenti, saya lompat turun dan berjalan kaki lewat rel kereta api stasiun Jatinegara setengah berlari ke Salemba agar bisa tiba di depan Ruang 3 sebelum pintunya ditutup Prof. Miriam Budiardjo.

Waktu terus berjalan dan pada awal Februari 1969 kami Angkatan ’68 sudah duduk kuliah di tahun kedua. Pada tahun kedua inilah, Dewi Fortuna kembali menyambangi saya lewat satu mata kuliah yang sangat saya nikmati, namanya: Perkembangan Sosial (Social Development) yang diberikan dengan sangat menarik, bahkan memukau oleh Almarhum Dr. Soerjono Wirjodiatmodjo, jebolan Universitas di Rotterdam, Belanda.

Sepanjang kuliah saya fokus mendengarkan saja kuliah sambil sesekali mencatat kata-kata kuncinya. Sepulang ke rumah tumpangan, sesudah maghrib saya menuliskan kembali seluruh isi dan alur kuliah Pak Soerjono Wirjodiatmodjo dalam bahasa narasi saya sendiri. Sekali waktu saat bermobil bersama Aslam, dia mengambil dan membacanya. Kemudian Aslam bilang: “Rin, ini bisa diduitin nih. Berikan tulisanmu ke saya agar saya ketik ulang untuk distensil”.

Maka mulailah kami berdua berbisnis stensilan isi kuliah Pak Soerjono Wirjodiatmodjo. Kami jual Rp. 10 per kuliah saat ongkos angkot juga masih Rp. 10,-. Setiap sebelum kuliah baru mulai, saat saya baru saja mengeluarkan stensilan dari tas kuliah saya, teman-teman seangkatan sudah berebut. Laris manis. Aslam tidak mengambil sepeser pun. Semuanya dia ikhlaskan untuk saya. Terpecahkan lah masalah kebutuhan ongkos angkot saya.

Dewi Fortuna masih terus menyambangi saya paling-kurang dua kali lagi. Pertama, di hampir akhir tahun kedua kuliah, akhir 1969, Dr. Soerrjono Wirjodiatmodjo meminta saya bergabung menjadi salah satu asistennya. Kedua, usai pengumuman hasil ujian Statistik Sosial. Dari 130-an peserta mata kuliah itu, saya satu-satunya yg dapat nilai tujuh dari rentang 0 s/d 10. Berkat pencapaian saya itu, saya kemudian diminta Dekan Ibu Prof. Miriam Budiardjo untuk menjadi asisten Statistik Sosial. Saat itu saya merasa seolah sedang di “jalan tol” studi saya, lancar meluncur!

Sebetulnya ada banyak teman seangkatan yang lebih cemerlang seperti: Almarhum Farchan Bulkin yang diangkat jadi Asisten Prof. Miriam Budiardjo, Almarhumah Syarifah Sabaruddin yang diangkat jadi Asisten di Jurusan Kriminologi dan Mbak Rubyanti Sondak yang memilih menikah lebih dahulu serta Irina Badri yang pindah ke luar negeri.

Keberuntungan terus menyambangi saya. Di tahun 1975 sesudah tamat sarjana satu setahun sebelumnya, saya dikirim untuk mengikuti Kursus Demografi di Lembaga Demografi FE-UI. Di kursus ini, peserta tidak hanya dapat ilmu tapi juga diberi honor sebesar Rp. 40.000,-. Kebetulan pada saat yang sama, Entiek sedang hamil Puteri kami satu-satunya. Dengan honor sebesar itu, saat itu, bayi dan ibunya terjamin asupan makanan dan minuman yang bergizi.

Selesai Kursus Demografi, saya dikirim ke Universitas Leiden untuk belajar Metodologi Penelitian Sosial dan Statistik Sosial masing-masing dengan Almarhum Prof. Speckman dan drs. Peter Barnaveld. Alhamdulillah, saya menggondol nilai delapan dalam tiap mata kuliah itu.

Saat pulang dan melapor ke fakultas, saya disambut gembira oleh Dekan Prof. Miriam Budiardjo dan langsung diangkat menjadi dosen mata kuliah Demografi Sosial, Statistik Sosial dan Teori Perubahan Sosial. Prof. Miriam juga mempromosikan saya menjadi salah satu pengajar Program Pasca Sarjana FISIP-UI yang baru dirintisnya.

Sesudah dua tahun mengajar sepulangnya saya dari Leiden, saya ditawari beasiswa oleh Prof. Selo Soemardjan untuk studi Demografi di The Australian National University (ANU ), Canberra, tahun 1980. Dua tahun kemudian saya lulus dengan predikat “Distinction”. Tapi saya masih kalah dengan tiga teman Indonesia lainnya: Yasmine Shahab, dr Yulianti dan mbak Sri Moertiningaih Aditomo, yang sukses menggondol predikat “High Distinction”.

Saat Alamarhum Prof. Nugroho Notosusanto menjabat sebagai Rektor UI dan Almarhum Prof. Manasse Malo sebagai Dekan FISIP-UI, saya dianugerahi penghargaan sebagai Dosen Teladan 1 Tingkat FISIP-UI sekaligus juga sebagai Dosen Teladan 3 Tingkat UI. Empat tahun kemudian di tahun 1986 saya dikirim belajar ke Essex University, Colchester, Inggris. Saya selesaikan studi doktoral ini pada Agustus 1990.

Dari semua pencapaian itu, puncak kepuasan perjalanan karier sebagai dosen saya peroleh dengan penuh takzim dari mahasiswa FISIP-UI yang menobatkan saya sebagai “Dosen Favorit 2003”. Itulah puncak orgasmus sebagai dosen karena konsumen saya, mahasiswa-mahasiswa FISIP-UI generasi masa-depan lah yang menetapkan saya sebagai Dosen Favorit 2003.

Terima kasih tak terhingga kepada semua mahasiswa-mahasiswa FISIP-UI. Semoga Allah melapangkan kesuksesan kalian menuju ke “aba padang-bhakti” (tiga kata terakhir ini dikutip dari Puisi Aly Hasymi, Penyair dan mantan Gubernur Aceh, berjudul: menyesal). Saya tidak pernah menyesal diberi kesempatan memberi kuliah kepada kalian.

*) Penulis adalah Sosiolog, Anggota Komisi Kebudayaan dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *