Usia dan Palagan

Spread the love
(Foto: Ist.)

“Perang ini adalah perang besar, mungkin yang terbesar. Hanya prajurit-prajurit terhebat yang terlibat di dalamnya. Sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh yang akan abadi dikenang sepanjang masa.” Kira-kira begitulah lontaran agitasi-propaganda Odysseus saat membujuk Achilles yang sebenarnya tak ingin terlibat dalam penyerangan ke Troya.

Ketika itu, Yunani Raya bersatu di bawah kepemimpinan Agamemnon. Mereka berbela-rasa dengan Menelaus yang ingin merebut kembali Helena dan menghukum Paris, sang pangeran Troya yang bersamanya Helena kabur dari Sparta.

Achilles, sang ksatria pemberani itu, sangat diharapkan kehadirannya dalam persekutuan besar tersebut, terutama sekali untuk head-to-head dengan Hector. Hector adalah putra mahkota Troya, kakak Paris, dan pelindung yang sangat tangguh menjaga kekokohan Tembok Kota Troya.

Berbeda dengan para ksatria lain yang bersolidaritas pada Menelaus, sebaliknya Achilles justru menilai, persekutuan besar tersebut tak lain dari trik Agamemnon, kakak Menelaus, untuk melakukan penaklukan dan meluaskan wilayah. Dia tak ingin tergabung dalam urusan pribadi dua laki-laki yang telah dipolitisasi itu.

Tapi, agitasi-propaganda yang dihembuskan Odysseus sungguh mengganggu nalurinya sebagai prajurit pemberani dan nuraninya sebagai seorang manusia yang sangat menginginkan keabadian. Dia ingin berada dalam satu palagan dengan para-yang-terbaik dan ingin dikenang sepanjang masa. Achilles pun memutuskan untuk terlibat dalam perang itu.

Dengan bekal kecakapan, kemampuan olah senjata, seni bertarung, dan kebal dari senjata apapun karena dimandikan oleh ibunya di air ajaib ketika bocah, Achilles adalah sebuah paket lengkap dengan kombinasi yang langka. Dia hanya perlu meluangkan waktunya bertolak ke Troya, menang perang, kembali ke Yunani, berkeluarga dan hidup damai menunggu usia renta, lalu menanti keabadian nama dikisahkan dari generasi ke generasi. Perang Troya mungkin bakal hanya pengisi usia muda belaka.

Namun, kisah abadi ternyata tak berjalan mulus seperti itu. Sebelum keberangkatannya ke Troya, Achilles menemui ibunya, Thetis, seorang Dewi. Oleh ibunya, Achilles diberi dua pilihan: berangkat ke Perang Troya lalu mati muda di medan perang, tapi mendapatkan kemuliaan dan abadi dikenang sepanjang masa; ataukah, tidak berangkat ke Perang Troya, hidup bahagia bersama keluarga, panjang usia hingga hari tua, tapi tak dikenang sepanjang masa.

Sejarah kemudian ditoreh, Achilles memilih mati muda di tanah Troya. Benar belaka ucapan-ucapan di linimasa dunia maya, bahwasanya usia hanyalah angka. Benar pula penggalan puisi Gie, “..berbahagialah mereka yang mati muda..”.

Kisah-kisah fiksi, Anda sekalian bisa sebutkan sendiri satu per satu, seringkali menyisipkan impian terbesar manusia yang terus ditunggangi lewat ilmu pengetahuan: hidup abadi. Salah satu contoh, misalnya Lord Voldemort dalam serial Harry Potter. Berbeda dengan Achilles yang hanya namanya saja yang abadi, kisah fiksi yang saya contohkan barusan, justru ingin raganya yang abadi.

Suatu saat, ilmu pengetahuan dan teknologi, mungkin saja akan menemukan pil, alat, atau formula agar manusia bisa hidup abadi. Seandainya itu terjadi, bukankah para dewa tak lagi iri pada manusia? Manusia punya kelemahan sekaligus menjadi keistimewaan, yang justru tak dipunyai para Dewa yakni rasa cemas dan pengharapan. Dua hal yang selalu lebih masif menginvasi di hari-hari jelang ulang tahun.

Lalu, kisah Achilles muncul sebagai bandul pengingat. Tak perlu hidup abadi hanya untuk membunuh rasa cemas dan pengharapan. Tapi, tanpa ragu, masuklah dalam palagan, entah bisa keluar atau tidak nantinya. Masuklah dalam palagan.

Hancel Goru Dolu, 13 April 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *