
Oleh: Marselus Natar*
Dalam dunia kerja, kompetensi dan profesionalisme seharusnya menjadi fondasi utama dalam menentukan karier seseorang. Namun, realitas sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Praktik kolusi dan nepotisme telah mengakar di banyak organisasi, menggerogoti prinsip keadilan dan meritokrasi. Kolusi, yang merupakan kesepakatan terselubung demi kepentingan pribadi atau kelompok, serta nepotisme, yang mengutamakan sanak saudara atau orang terdekat tanpa mempertimbangkan kapabilitas, ibarat racun yang perlahan tetapi pasti merusak sistem.
Dampak dari praktik ini sangat merugikan. Kolusi dan nepotisme menciptakan lingkungan kerja yang timpang dan tidak adil. Ketika promosi atau kesempatan kerja diberikan bukan berdasarkan kemampuan, melainkan kedekatan dengan pihak berkuasa, karyawan yang benar-benar kompeten akan merasa dikesampingkan. Hal ini bukan hanya meruntuhkan semangat kerja, tetapi juga memicu budaya kerja yang stagnan dan penuh kekecewaan. Akibatnya, moral karyawan merosot, produktivitas menurun, dan loyalitas terhadap perusahaan pun melemah.
Contoh konkret dari praktik ini bisa ditemukan dalam banyak sektor. Di lingkungan birokrasi, misalnya, seorang pejabat tinggi sering kali mengangkat kerabatnya ke posisi strategis meskipun orang tersebut tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Hal ini tidak hanya menghambat individu yang lebih layak, tetapi juga berpotensi merusak sistem pengambilan keputusan yang seharusnya berbasis kompetensi. Dalam dunia korporasi, sering kali terjadi kasus di mana seorang direktur utama lebih memilih saudara atau teman dekatnya untuk mengisi jabatan manajerial penting tanpa melalui proses seleksi yang transparan. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami penurunan efisiensi karena keputusan bisnis tidak lagi berdasarkan keahlian, melainkan kepentingan pribadi.
Dalam jangka panjang, degradasi kualitas sumber daya manusia menjadi tak terhindarkan. Jika individu yang tidak memiliki kompetensi yang layak terus mendapatkan posisi strategis, maka keputusan dan kebijakan yang diambil pun cenderung tidak optimal. Organisasi kehilangan daya saing karena keahlian bukan lagi faktor utama dalam menentukan kepemimpinan, melainkan hubungan personal dan kepentingan sempit. Ketidakmampuan dalam kepemimpinan juga berpotensi menyebabkan ketidakstabilan dalam operasional perusahaan, menciptakan kebijakan yang tidak efektif, dan menghambat inovasi yang seharusnya berkembang.
Praktik ini juga menumbuhkan budaya kerja yang tidak transparan dan penuh intrik. Kepercayaan antarkaryawan akan terkikis, sebab mereka menyadari bahwa keberhasilan di tempat kerja lebih ditentukan oleh “siapa yang dikenal” daripada “apa yang bisa dilakukan”. Budaya ini menciptakan lingkungan yang penuh kecurigaan, di mana kolaborasi yang sehat dan kerja tim yang harmonis semakin sulit ditemukan. Jika dibiarkan, perusahaan akan mengalami stagnasi dalam perkembangan dan bahkan menghadapi risiko besar dalam keberlanjutan bisnisnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, transparansi dalam proses rekrutmen dan promosi menjadi langkah awal yang sangat penting. Setiap tahapan seleksi harus didokumentasikan dengan jelas dan diawasi oleh pihak independen untuk mencegah penyimpangan. Rekrutmen berbasis sistem skor dan penilaian objektif perlu diterapkan agar individu yang paling kompeten mendapatkan kesempatan yang layak. Pengawasan ketat serta penegakan aturan yang adil juga harus diterapkan, sehingga setiap keputusan di tempat kerja didasarkan pada prestasi dan kinerja, bukan koneksi pribadi. Lembaga internal perusahaan bisa membentuk tim independen yang bertanggung jawab atas pengawasan proses promosi dan penilaian karyawan.
Selain transparansi, penting bagi perusahaan untuk menerapkan kebijakan berbasis meritokrasi yang jelas dan tegas. Setiap individu harus mendapatkan kesempatan yang sama berdasarkan kinerja, keahlian, serta kontribusi mereka terhadap perusahaan. Pemanfaatan teknologi dalam proses rekrutmen juga dapat menjadi solusi, seperti penggunaan sistem kecerdasan buatan yang dapat menganalisis dan menilai kandidat secara objektif tanpa bias subjektif.

Membangun budaya organisasi yang berbasis integritas dan profesionalisme harus menjadi prioritas utama setiap perusahaan. Hal ini bisa diwujudkan dengan mengadopsi kebijakan zero tolerance (tidak ada toleransi atau pengampunan) terhadap praktik nepotisme dan kolusi, serta memberikan ruang bagi whistleblower yang berani melaporkan penyimpangan. Perusahaan juga dapat melakukan pelatihan rutin mengenai etika kerja, menyusun sistem evaluasi kinerja yang objektif, dan memberikan insentif bagi karyawan yang berprestasi berdasarkan pencapaian nyata mereka. Dengan demikian, budaya kerja yang berbasis keadilan dapat tumbuh dan mengurangi peluang penyimpangan yang merugikan banyak pihak.
Selain langkah-langkah internal perusahaan, penguatan regulasi dari pemerintah dan lembaga pengawas juga diperlukan untuk menekan maraknya praktik ini di berbagai sektor industri. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan ketat terkait transparansi dalam proses perekrutan di instansi pemerintahan maupun sektor swasta yang mendapat fasilitas publik. Misalnya, pemerintah bisa menerapkan sistem lelang jabatan yang transparan agar setiap kandidat dinilai berdasarkan kompetensi dan pengalaman mereka. Selain itu, audit berkala terhadap praktik manajemen sumber daya manusia di perusahaan perlu dilakukan untuk memastikan penerapan sistem yang bersih dari unsur kolusi dan nepotisme. Lembaga pengawas ketenagakerjaan juga harus diberikan wewenang lebih besar dalam menindaklanjuti laporan-laporan pelanggaran yang berkaitan dengan praktik ini.
Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat terhadap bahaya kolusi dan nepotisme juga harus terus ditingkatkan. Kampanye edukasi dan sosialisasi terkait etika profesionalisme dalam dunia kerja dapat dilakukan melalui berbagai media, mulai dari seminar, pelatihan daring, hingga penyebarluasan informasi melalui platform digital. Generasi muda sebagai calon tenaga kerja masa depan harus dibekali pemahaman yang kuat akan pentingnya kompetensi dan integritas dalam membangun karier.
Kolusi dan nepotisme bukan sekadar praktik yang tidak etis, tetapi juga ancaman nyata bagi keberlanjutan dunia kerja yang sehat. Jika ingin membangun organisasi yang kuat dan berdaya saing tinggi, maka praktik-praktik ini harus diberantas sejak dini, sebelum mereka menjalar lebih jauh dan melemahkan fondasi profesionalisme. Perusahaan, pemerintah, dan individu harus bersama-sama menciptakan sistem kerja yang transparan, adil, dan berbasis kompetensi demi masa depan dunia kerja yang lebih baik.
Dengan menerapkan sistem kerja yang transparan, menegakkan aturan dengan tegas, dan membangun budaya kerja yang berbasis integritas, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat, kompetitif, dan berorientasi pada hasil. Semua pihak memiliki peran dalam memberantas kolusi dan nepotisme demi dunia kerja yang lebih baik dan berkeadilan. Reformasi yang menyeluruh di dunia kerja adalah kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan agar profesionalisme tetap menjadi nilai utama dalam setiap keputusan dan kebijakan yang diambil.
*) Mahasiswa STIPAR Ende, juga bapak asrama SMAK Frateran Ndao Ende.