Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono*

Penulis: Wida Dhelweis Yistiarani
Editor: Coen Husain Pontoh
Penerbit Independen & IndoProgress, Yogyakarta
Tebal Buku: vii+91 Halaman
Kertas: HVS
Ukuran: 14×21 cm
Buku ini menentang anggapan kaum populis bahwa relasi sosial di pedesaan merupakan relasi yang harmonis dan guyub melalui aktivitas kebersamaan seperti gotong royong. Dalam studi agraria populis tersebut, warga digambarkan se- bagai satu kelompok yang homogen. Studi kasus yang dilakukan di Desa Geger membuktikan bahwa kondisi pedesaan, khususnya di Yogyakarta, tidak seperti yang digambarkan dalam penelitian agraria populis.
Para petani di Desa Geger bukanlah kelompok warga yang homogen, melainkan terdapat relasi eksploitatif yang menyumbang pada ketimpangan ekonomi dan sosial di pedesaan. Hadirnya ekspansi kapital melalui pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA), bukanlah awal adanya konflik di pedesaan Yogyakarta. Sebelum pembangunan Bandara YIA, konflik di tingkat desa telah terjadi akibat adanya eksploitasi yang dilakukan kelas penguasa (petani kapitalis dan tuan tanah) terhadap kelas pekerja (proletar dan semi-proletar).
Buku ini menunjukkan bagaimana pengaruh pembangunan Bandara YIA terhadap relasi kelas sosial di Desa Geger, yang terletak di Pesisir Selatan Jawa.
Kebijakan pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini, tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Mengutip Davidson (2015), kesulitan dalam memperbaiki masalah infrastruktur di Indonesia bukan terutama terkait konsekuensi dari hal-hal teknis, melainkan lebih kepada masalah politis.
Semasa pemerintahan Soeharto, patronase dalam industri konstruksi menjadi salah satu penghambat perkembangan infrastruktur. Soeharto kerap menggunakan kekerasan untuk mengusir warga yang tinggal di bidang tanah tempat pembangunan akan dilakukan. Cara-cara ini tidak lepas dari kepemimpinan masa Orde Baru yang otoriter dan banyak mengandalkan kekerasan. Hingga saat ini metode penggunaan kekerasan tetap dilakukan negara dalam proses pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan.

Pasca krisis finansial Asia, Indonesia kesulitan untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan infrastruktur yang meningkat akibat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi (Kim, 2023). Sebaliknya, sektor konstruksi berkembang lebih cepat. Perkembangan infrastruktur di In- donesia mulai mendapatkan momentumnya pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan semakin cepat berkembang pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Pada masa kepemimpinan SBY, Indonesia mulai membuka kesempatan kerja sama dengan swasta melalui skema public private partnership (PPP) di sektor infrastruktur. Upaya SBY menarik investor dan pihak swasta untuk mengembangkan infrastruktur tidak cukup berhasil, salah satu penyebabnya adalah iklim investasi yang tidak ramah sehingga mencegah investor masuk.
Buku ini merupakan salah satu seri dari dua buku lainnya tentang perubahan agraria yang ditulis oleh penerima beasiswa riset IISRE Angkatan Pertama. Buku-buku mengenai perubahan agraria yang disusun berdasarkan perspektif kelas, diharapkan dapat mendorong minat lebih luas dalam memahami kompleksitas relasi eksploitasi di pertanian dan pedesaan.
Hal ini barangkali menandai lahirnya generasi baru peneliti yang melihat relasi kelas di pedesaan sejak Soeharto runtuh. Kita berharap studi-studi permulaan ini di masa mendatang bisa dikembangkan menjadi studi lebih mendalam dan melibatkan lebih banyak lagi peneliti yang punya keberpihakan kelas yang jelas.
*) Penulis, penerjemah, dan pedagang buku. Tinggal di Yogyakarta.