
Oleh: Iksaka Banu*
Kami tidak akan pernah lupa sampai kapan pun kedurjanaan Mei, walau sudah 26 tahun berlalu!
Untuk kesekian kalinya, saya tuliskan kenangan mencekam melewati malam panjang, 26 tahun yang lalu, Mei 1998:
Tanggal 12 Mei 1998, saya mendengar enam mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru aparat. Setelah itu, meletus huru-hara di pelbagai daerah di ibu kota. Sebagian besar penduduk Jakarta tidak berani pergi terlalu jauh dari rumah. Celakanya malam itu, Kamis, tanggal 14 Mei, pukul 20.30, saya masih berkutat di ruang edit sebuah rumah produksi di daerah Kebon Jeruk, mengejar deadline iklan TV.
Saya bisa melihat keresahan di wajah seluruh karyawan dalam ruang edit. Dari menit ke menit, berita di radio dan televisi semakin memburuk. Akhirnya, saya telepon boss. Saya tanyakan, apakah deadline bisa diundur, karena editor saya, kebetulan seorang wanita, tidak bisa berkonsentrasi lagi. Ia ingin lekas pulang. Boss mengizinkan. Materi film disimpan sejadinya dalam kaset VHS. Lalu, semua berkemas. Ada yang langsung pulang, karena rumahnya cukup dekat, ada yang memutuskan menginap di kantor.
Saya membawa mobil, tapi tidak ada yang searah dengan saya ke Jatiwaringin.
“Separah apa?” tanya saya kepada seorang karyawan pengantar barang.
“Ngeri, Pak,” jawabnya. “Bakar-bakaran, perampokan. Nginep sini saja.”
Saya mulai terombang-ambing. Namun, siapa bisa menebak, apakah esok hari keadaan akan membaik atau sebaliknya? Dan materi video ini penting sekali. Akhirnya saya beranikan diri pulang.
Baru pukul 21.00, lalu lintas sudah sepi. Hanya mobil saya yang melintas perlahan. Luar biasa mencekam. Saya ikuti peta yang dibuat rekan editor, masuk jalan tikus (saya lupa rutenya), sambil sebentar-sebentar mengontak lewat HP. Perjalanan pulang itu rasanya seperti berabad-abad. Akhirnya, saya berhasil tembus di Pancoran tanpa harus melewati Semanggi.
Di tempat itu, saya mendadak was-was. Tepat di bawah patung Dirgantara, sebuah bangkai mobil tampak masih membara. Saya arahkan kendaraan masuk tol. Ternyata situasinya semakin parah. Di gerbang tol, mobil saya dikelilingi sekelompok pria. Kap mesin diduduki. Jendela diketuk-ketuk. Saya buka sedikit. Beberapa orang lelaki dengan napas berbau alkohol, berseru: “Bagi duit, Boss! Perjuangan mahasiswa!”
Jelas mereka bukan mahasiswa. Walau demikian, saya buka dompet, dan tanpa menghitung isinya saya berikan kepada orang itu, lalu saya mulai menginjak pedal gas, maju perlahan. Mereka yang semula duduk di kap mesin tampaknya ingin mencari masalah. Dengan sebatang kayu, sekujur tubuh mobil dipukuli, lalu kaca belakang mendadak berderak retak. Batu!

Tanpa pikir panjang, saya tekan gas sekuat tenaga. Spion kanan mobil saya rontok menabrak drum penghalang. Di dalam tol, saya juga masih harus zig-zag karena sampai beberapa meter, jalanan dipenuhi manusia tidak jelas identitasnya. Namun, saya yakin tak ada mahasiswa di antara mereka.
Sekitar pukul 24.00, saya tiba di rumah dengan selamat, dan langsung berkumpul bersama para tetangga yang malam itu berinisiatif siskamling. Ada kabar, “massa perusuh” sudah tiba di belakang kompleks, dan sedang menuju ke perumahan kami. Dengan gugup, kami bersiap. Membawa senjata seadanya. Clurit, cutter, tongkat baseball, dan sebagainya. Ternyata yang datang tidak lama kemudian justru satu pick up tentara dikawal dua pemotor bersenjata M-16.
“Benar. Massa sudah di perbatasan kompleks. Tapi tenang,” kata seorang dari mereka sambil mengangkat senapan. “Ini pelurunya 200. Mampus semua kalau ada yang mengacau!”
Kami merasa lega. Sama sekali tidak mengetahui bahwa nun jauh di luar sana, di daerah tempat tinggal saudara-saudara beretnis Tionghoa, malam itu dan beberapa malam selanjutnya, tengah berlangsung kekejian yang dilakukan manusia-manusia biadab.
Itu sekelumit kenangan peristiwa 26 tahun yang lalu. Saya bukan pejuang atau aktivis, sehingga tidak punya kisah heroik untuk diceritakan. Namun, dari semua hal yang kemudian diberi tajuk “Kerusuhan Mei 1998”, ada yang sungguh membuat saya dan banyak orang pada waktu itu, bertanya-tanya. Mengapa hampir semua orang memiliki kisah seragam: didatangi tentara bersenjata saat ronda malam, diberi cerita bahwa massa sudah tiba di kampung sebelah, dan diminta tenang karena tentara sudah berjaga?
Semoga peristiwa semacam ini tidak terulang lagi.
*) Penulis adalah seniman dan penulis buku. Saat ini tinggal di Jakarta.