
Oleh: Rio Nanto*
Setelah menjalani riset lapangan dan studi literatur selama dua tahun, saya akhirnya menyelesaikan proses penulisan tesis dengan judul โTeologi Roeng sebagai Model Teologi Pembebasan dalam Pembangunan Pariwisata Super Premium Labuan Bajoโ.
Saat ini, pariwisata telah menjadi salah satu sektor unggulan dalam peningkatan ekonomi masyarakat di daerah wisata. Selain membuka ruang penciptaan lapangan kerja, pariwisata mendorong pengembangan UMKM dan penguatan aspek budaya lokal. Berbarengan dengan pengaruh positif tersebut, pariwisata memperparah konflik agraria, menguatnya kasus deforestasi dan privatisasi tanah-tanah masyarakat lokal. Menguatnya privatisasi ini menandai kooptasi sistem neoliberal dalam pengelolaan ekosistem pariwisata. Fenomena ini telah terjadi dalam pariwisata super premium Labuan Bajo.
Sejumlah peneliti telah menganalisis pariwisata dan pembangunan di Labuan Bajo dari perspektif ekonomi politik, turisme, psikologi dan sosiologi. Dalam tesis ini, penulis menganalisis persoalan pariwisata dari perspektif teologi pembebasan. Kebaruan dalam riset ini ialah perumusan teologi roรฉng yang terinspirasi dari khazanah gagasan teologi pembebasan. Walaupun demikian, teologi roรฉng memiliki kekhasan tersendiri mulai dari konteks budaya dan kompleksitas persoalan mengenai relasi Gereja dan politik.
Teologi roรฉng tidak hanya bergelut dalam refleksi, tetapi berdimensi transformatif melalui gerakan perlawanan terhadap sistem yang mengorbankan orang-orang miskin dan terpinggirkan. Inspirasi utama teologi roรฉng ialah sikap hidup Yesus yang selalu membela hak-hak orang miskin. Konsep teologi roรฉng ini menjadi peluang pengembangan gerakan progresif dalam Gereja berhadapan dengan persoalan pembangunan pariwisata super premium Labuan Bajo. Pariwisata Labuan Bajo gagal mendorong kemajuan ekonomi, sebaliknya telah merampas tanah-tanah masyarakat lokal. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan tanah di tanah air mereka sendiri.
Merespons desain pariwisata yang berwatak neoliberal tersebut, Gereja Keuskupan Ruteng telah melakukan riset lapangan untuk menemukan akar persoalan. Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng menemukan empat akar masalah mendasar dalam pariwisata super premium Labuan Bajo.
Pertama, masalah personal. Masyarakat lokal Labuan Bajo cenderung bersikap malas, bermental instan dan rentan menjual tanah kepada investor. Hal ini dilatarbelakangi minimnya pemahaman masyarakat lokal mengenai bisnis pariwisata dan euforia hidup mewah tanpa kerja keras.
Kedua, masalah sosial ekonomi. Model pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berwatak neoliberal dengan strategi privatisasi, aneksasi regulasi dan perampasan lahan masyarakat lokal.
Ketiga, masalah sosial politik. Negara menjadi fasilitator dalam melanggengkan perampasan ruang lingkup warga melalui regulasi yang berpihak pada investor.
Keempat, masalah kultural. Globalisasi gaya hidup melalui bisnis pariwisata mereduksi apresiasi masyarakat Labuan Bajo terhadap eksistensi budaya lokal.
Penelusuran akar masalah menjadi langkah awal Gereja Keuskupan Ruteng dalam menentukan model keberpihakan terhadap masalah pembangunan pariwisata super premium Labuan Bajo tersebut.

Melihat akar persoalan tersebut, Gereja Keuskupan Ruteng memilih tema pariwisata holistik dalam sidang pastoral post-Natal di Rumah Retret Putri Karmel Wae Lengkas, Ruteng pada tanggal 4-7 Januari 2022.
Dalam mewujudkan pastoral pariwisata holistik ini, Gereja Keuskupan Ruteng berkomitmen untuk melaksanakan program edukasi/pencerahan tentang pariwisata holistik, program ekonomi, program budaya, program ekologi (pariwisata alam), dan program rohani.
Pertama, program edukasi. Dalam program ini, Gereja Keuskupan Ruteng melakukan edukasi dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologis dan spiritual melalui surat gembala uskup, kotbah dan katekese kepada umat.
Kedua, program ekonomi. Gereja Keuskupan Ruteng memberikan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat lokal agar mampu berpartisipasi dalam pariwisata dengan memfasilitasi kebun horti, ternak, agrowisata, kuliner dan koperasi jalur paroki.
Ketiga, program budaya. Gereja Keuskupan Ruteng mengembangkan cagar budaya dan pemanfaatan Gereja Tua (Rekas, Lengko Ajang dan Katedral Lama) menjadi objek wisata rohani.
Keempat, program ekologi. Dalam program ini, Gereja Keuskupan Ruteng mengembangkan alam di paroki menjadi objek wisata melalui pengembangan dan fasilitasi wisata danau/sungai, wisata pegunungan/lembah, wisata bahari, dan wisata alam lainnya yang ada di paroki. Selain itu, keuskupan Ruteng berusaha merawat dan mengembangkan flora (wisata bunga) dan fauna khas yang ada di paroki, mengembangkan/memfasilitasi desa wisata, dan berusaha menciptakan taman paroki yang sehat dan asri.
Kelima, wisata rohani. Dalam program ini, Gereja Keuskupan Ruteng menyelenggarakan festival-festival seperti festival Golo Koe di Labuan, festival Golo Curu di Ruteng dan pembangunan patung Kristus Raja Semesta Alam di Labuan Bajo.
Pelbagai program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh Gereja Keuskupan Ruteng dalam pariwisata holistik-integral telah menunjukkan keterlibatan terhadap persoalan roรฉng. Penguatan riset masalah menjadi sebuah model implementasi teologi roรฉng yang berpihak pada masyarakat miskin yang terpinggirkan secara ekonomi dan politik.
Namun, pelbagai program pariwisata holistik-integral tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam pembangunan pariwisata super premium Labuan Bajo. Masalah utama dalam pariwisata superpremium Labuan Bajo ialah ideologisasi pembangunan, perampasan hak-hak masyarakat adat dan privatisasi aset-aset publik untuk melapangkan akumulasi modal korporasi.
Kompleksitas masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan pemberdayaan UMKM dan penyelenggaraan festival. Program pariwisata holistik-integral memiliki kesamaan dengan pariwisata super premium Labuan Bajo yaitu kumpulan teknokrat yang berioreintasi pada profit ekonomi semata-mata. Reduksi masalah pada primat ekonomi membuat Gereja Keuskupan Ruteng melupakan masalah substansial di Labuan Bajo.
Program Gereja Keuskupan Ruteng sebenarnya menenggelamkan teologi roรฉng yang berdimensi pembebasan. Saat ini, Gereja Keuskupan Ruteng telah tampil sebagai teknokratis yang alih-alih berpihak pada roรฉng, tetapi bersekongkol dengan penguasa dan pengusaha untuk melanggengkan domin Keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng melalui penetapan pariwisata holistik-integral tidak dilandasi analisis sosial kritis dan gerakan pembebasan yang holistik.
Alih-alih melawan logika pariwisata super premium yang berwatak neoliberal, Gereja telah menjadi antek pembangunan yang melegitimasi sejumlah proyek perampasan hak-hak masyarakat kecil. Sejumlah program pariwista holistik-integral seperti pemberdayaan UMKM, ziarah rohani dan beberapa event festival mereduksi masalah pariwisata semata-mata pada kepentingan ekonomi. Program-program tersebut secara tidak langsung menempatkan Gereja sebagai teknokrat baru yang bertendensi merebut pengaruh dalam panggung pariwisata super premium.

Akar utama masalah pariwisata super premium di Labuan Bajo ialah kapitalisme berkedok konservasi dan bisnis pariwisata. Pembangunan di Labuan Bajo telah mencaplok sumber daya dan mengeksploitasi tanah masyarakat lokal demi penumpukan modal kapitalis. Hasilnya adalah eksklusi sosial yang ditandai dengan dibatasinya akses masyarakat setempat pada sumber daya sehingga mereka tidak mendapat manfaat apapun dari pengelolaan sumber daya itu. Selain itu, atas nama pembangunan, hutan telah dialifungsikan menjadi kawasan wisata. Penguasaan aset publik tersebut beralih dari tangan masyarakat secara kolektif ke korporasi dan individu investor sebagai properti dan komoditas pribadi, yang dikapitalisasi untuk menumpuk nilai lebih atau surplus value (Cypri Paju Dale, 2013:113). Masyarakat yang sebelumnya merupakan pemilik kolektif atas tanah (lingko) berubah menjadi orang asing di tanah sendiri.
Dari perspektif teologi roรฉng, Gereja di Keuskupan Ruteng saat ini bukanlah hierarki atau tatanan sosial yang membebaskan, melainkan hierarki feodal. Hierarki feodal seperti ini cenderung mencari aman dan mencari untung. Tentunya, kita tidak bisa mengharapkan suatu teologi roรฉng berdimensi pembebasan dari hierarki seperti ini. Kendatipun kita mengakui bahwa dalam beberapa hal, melalui sejumlah program pemberdayaan, Gereja sudah berusaha membangun ekonomi umat. Namun, upaya itu tidak lahir dari sebuah pembacaan yang struktural yang kemudian membuat Gereja tidak kritis dengan pemiskinan sistemik yang disebabkan oleh kerja-kerja pembangunan.
Spirit dasar teologi roรฉng adalah perjuangan untuk melawan ketidakadilan sistematis yang memiskinan dan menyengsarakan rakyat kecil. Paradigma teologi roรฉng dari perspektif pembebasan menjadi pisau analisis untuk melihat peran hierarki Gereja di Keuskupan Ruteng dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dalam sebuah institusi dan organisasi tertata seperti Gereja, hierarki memiliki peran penting dalam mengatur kegiatan-kegiatan gerejani. Tentunya yang dimaksud adalah hierarki sebagai tugas, profesi dan panggilan.
Pada dasarnya, teologi roรฉng tidak menegasikan pembangunan. Teologi roรฉng menginspirasi Gereja Keuskupan Ruteng untuk melawan hegemoni investasi yaitu pola pikir yang mengabsolutkan investasi dalam pembangunan seolah-olah menjadi solusi terhadap semua persoalan. Dalam cara pandang tunggal pembangunan ini, dimensi lain seperti pembangunan sosial, pembangunan budaya, dan pembangunan politik serta prinsip ekologi seringkali diabaikan. Visi utama pembangunan dalam teologi roรฉng mencakup banyak aspek dan terutama keberpihakan terhadap orang-orang miskin dan terpinggirkan.
*) Penulis adalah mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere – NTT.