
Oleh: Iwan Kurniawan*
(Gambaran kisah beberapa sahabat yang menemukan cinta di perantauan lalu pulang kampung berakhir luka).
Mentari pagi itu malu-malu mengintip dari sela pohon sawit yang tinggi rimbun menjulang di Kalimantan Barat. Embun masih menempel di ujung-ujung daun ketika Lusia menyusuri lorong kebun dengan semprotan pupuk di punggung dan sabit kecil tergantung di pinggangnya sebagai perawat tanaman: memupuk, menyabit rumput, dan merawat batang-batang muda yang baru tumbuh. Dia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Dari Manggarai, Flores, ia menginjak tanah borneo demi sebuah harapan. Harapan agar adik-adiknya bisa sekolah, agar ibunya bisa membeli beras tanpa harus berutang, dan agar bapaknya yang sudah meninggal bisa tenang di alam sana.
Di salah satu perusahaan sawit di tanah Borneo, Lusia diterima bekerja sebagai perawat tanaman, membersihkan rumput liar dan memberi makan pada akar-akar serabut. Di tempat yang sama, seorang lelaki muda bernama Wanus, juga bekerja sebagai pemanen sawit, tangannya cekatan memotong tandan sawit, badannya tegap dan roman muka khas sebagai laki-laki timur sangat transparan. Wanus atau Mbanu (Mbanu panggilan kesayangan di kampung), baru tamat SMA saat memutuskan ikut dalam pelayaran Dharma Rucitra yang membawa perantau menuju pulau asing, demi membantu orang tuanya membiayai sekolah adik-adiknya.
Sebagai sesama perantau yang berasal dari Manggarai, mereka kerap bertemu saat ada perkumpulan orang Manggarai dalam suatu acara atau hari Minggu saat ke Gereja, juga saat kumpul arisan keluarga besar Manggarai Kalimantan. Arisan menjadi sejenis koperasi kecil tempat perantau menabung uang dan meminjam uang, biasanya untuk keperluan mendadak atau sejenisnya. Mereka datang ke Kalimantan dengan harapan sederhana sama seperti yang lainya; bekerja keras, mengirim uang ke kampung, dan menanggung hidup keluarga yang menggantungkan mimpi pada pundak mereka. Saking seringnya bertemu, rasa itu tumbuh dan berbuah cinta.
Hari demi hari, semesta seperti sengaja mempertemukan mereka. Lusia yang pendiam, penuh tanggung jawab, dan Wanus yang jenaka dan penuh semangat. Suatu malam, tanpa angin yang datang kasih kabar atau tanpa ada seruan setan tolak seperti kata lagu timur yang lagi viral, Wanus kirimkan seutas pesan singkat tanpa basa-basi, meski sinyal kadang hilang di tengah kebun, tapi kekuatan cinta Reba Manggarai ini justru menguat dalam kesunyian itu.
“Enu, Mut keta nai woko ruis ite, aku ngoeng mose cama gu ite tedeng len,” bunyi SMS Wanus dalam bahasa Manggarai.
”Asa kali nana,” balas Lusia singkat, sembari ditambah emoticon senyum mengungkapkan suasana hatinya mekar seperti daun sawit yang subur.
Mereka jatuh cinta, tanpa terlalu banyak tanya soal latar belakang atau masa depan. Hanya perasaan yang bicara. Tanpa sadar, waktu menyusun kebiasaan. Cinta mereka larut dalam asmara. Dunia di kebun sawit seakan hanya milik mereka berdua. Mereka tak pernah melewatkan waktu tanpa bertemu hingga kebersamaan itu menjadi rutinitas sakral. Setelah selesai bekerja, kadang Lusia datang ke base camp, tempat tinggal para pekerja lelaki, membawakan makanan atau sekadar duduk bersama. Cinta mereka mekar seperti benih sawit yang tak lagi bisa ditahan. Sementara Wanus sering apel mengajak Lusia nongkrong di tempat yang ramai di kota dekat perkebunan perusahaan.
Hampir satu tahun di tanah perantauan, hubungan mereka sudah sangat terbuka. Sudah banyak diketahui oleh komunitas keluarga Manggarai yang mendiami atau bekerja di perusahaan yang sama. Tanpa sembunyi-sebunyi lagi. Sapaan mereka kadang diganti dengan sapaan humor oleh teman-teman sejawat. Ema Lalong dan Ende Lalong, predikat yang spontan diberikan kepada mereka karena hubungan yang sangat kental dan lengket seperti permen karet, meski tanpa status resmi. Meski kadang melawan perintah dan aturan di area perusahaan yang melarang mengunjungi lawan jenis atau teman hingga larut malam di masing-masing base camp. Wanus dan Lusia kadang tidak mengindahkan itu. Rindu yang menggebu dan rasa memiliki yang terlalu over membuat mereka lost control.
“Eme lejong lau neka toko lau, eme lejong sina neka toko sina,” pesan dari sebuah lagu Manggarai yang sering diputar setiap sore dari sebuah kamar dekat tempat Wanus dan Lusia sering menghabiskan waktu setelah bekerja. Jangan bermain di lautan jika tak ingin tenggelam, jangan main api jika takut terbakar. Secara kiasan kira-kira begitu arti lagu tersebut. Tapi cinta mereka sudah terlalu dalam.
Hingga akhirnya, satu malam yang terlalu panjang, dan satu keputusan yang terlalu cepat membuat segalanya berubah. Mereka tidak lagi dua melainkan satu, sabda sang malam lewat angin sepoi sejuk di bawah suramnya rembulan. Ini malam yang paling indah dari semua malam di kebun sawit, mengalahkan bunga tidur indah yang selama ini sering mereka ceritakan ketika terjaga.
Sebulan berlalu tubuh Lusia mulai terasa berbeda. Ia sering pusing, perutnya mual. Dokter yang bekerja di klinik Perusahaan Sawit sebagai Nakes hanya tersenyum dan berkata, “Selamat, kamu akan jadi ibu.”
Awalnya takut. Tapi saat Wanus bilang, “Saya akan tanggung jawab,” dunia Lusia kembali terang. Apalagi teman-teman perantauan sesama Manggarai merestui hubungan mereka. Maka mereka sepakat, pulang kampung. Tujuannya mulia: menikah secara adat dan gereja.
Kampung ternyata tak seindah harapan. Kedatangan mereka disambut bahagia oleh keluarga. Mengingat sudah banyak kebaikan dan jasa mereka membantu kehidupan keluarga. Wanus disambut baik keluarganya, begitu pun Lusia. Tak lama setelah itu, mengingat keduanya berasal dari keluarga yang sangat menghormati adat istiadat, hal pertama yang dilakukan adalah mengikat mereka secara adat Manggarai sebelum membahas dan merencanakan pernikahan yang secara sah menurut hukum dan gereja.
Waktu berjalan cepat, segala acara adat sudah dilakukan oleh keluarga kedua belah pihak dan kini Lusia berstatus istri sah secara adat dan Lusia sudah bisa tinggal bersama keluarga Wanus di rumahnya sebagai bagian dari ciri budaya patrilineal. Wanita harus meninggalkan keluarganya dan tinggal dengan keluarga laki-laki.
Di rumah Wanus dan tempat tinggal bersama mertua, semua berubah, tidak seperti di kebun sawit milik perusahaan. Lusia yang sedang mengandung mulai sering lelah. Rambut keritingnya yang dulu ia rawat kini kusut tak tersisir. Wajahnya pucat, tubuhnya membesar. Sementara Wanus, yang sering keluar rumah bertemu teman-teman kecilnya di kampung, tetap menjaga penampilan. Lusia sulit mengendalikan situasi. Karena bukan menghadap mandor lagi yang bisa dinego, ini mertua yang lahirkan ksatria idolanya.
Bisik-bisik tetangga dan keluarga mulai terdengar dalam alur waktu hidup berkeluarga. “Sayang betul Wanus, wanita kampung begini yang dia bawa pulang. Percuma merantau kalau istrinya tetap orang Manggarai,” celoteh tetangga dari balik dinding gedek. Dan beberapa ocehan lain yang membuat hati sedih dan sedikit membangkitkan amarah. Maklum sepedas-pedasnya cabe rawit masih lebih pedas mulut tetangga, apalagi jika yang menjadi pembicara masih ada hubungan keluarga.
Dan Wanus, perlahan termakan gengsi. Panggilan sayang “Momang”, berubah menjadi bentakan. Sentuhan berubah jadi acuhan. Ia jarang pulang, nongkrong sampai larut dan bila pulang pun hanya membawa mabuk dengan aroma khas sopi Manggarai. Lusia mencoba bertahan, berharap cinta yang dulu hangat di kebun sawit bisa kembali. Tapi yang datang hanya sunyi. Air mata Lusia jatuh. Bukan karena bahagia, tapi karena tidak percaya laki-laki yang membuat hatinya mengenal cinta berubah 180 derajat. Sedangkan perutnya semakin membesar, dalam kalender posyandu desa, usia kandungannya masuk bulan ke-9.
Ekonomi menjerit setelah kelahiran anak. Pagi itu, di sebuah Pustu Desa di Manggarai Timur, suara tangis bayi laki-laki memecah kesunyian. Lusia memeluk erat buah hatinya. Keringat masih mengucur di keningnya, tubuhnya lemas, namun senyumnya tak pudar. Ia baru saja menjadi ibu. Sementara di sudut ruangan tunggu pasien, Wanus berdiri kaku. Ia gugup, matanya sibuk menatap lantai.
“Om, itu siapa yang lahiran e,” tanya seorang pasien pelan.
“Oh itu tanta saya, saya hanya membantu menghantarnya ke Pustu tadi,” jawab Wanus tanpa beban.
Di ruang sempit Pustu Desa, terdengar sekali percakapan Wanus dan seorang pasien. Lusia hanya bisa menunduk. Hatinya retak. Ia tak diakui sebagai istri, bahkan saat baru saja memberikan kehidupan baru. Tapi ia diam. Demi anaknya, ia telan semua pahit itu.
Sebulan berlalu. Bayi mereka tumbuh sehat, meski rumah itu tak pernah benar-benar hangat. Lusia tinggal bersama mertua, dan keluarga Wanus. Sebagai keluarga kecil, banyak kebutuhan baru yang menjadi agenda pemenuhan kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Dari susu, pempers, popok bayi, dan lain-lain. Keadaan mereka terhimpit. Beban Lusia bertambah. Wanus memikirkan hal lain dari keadaan sulit ini. Dia berdalih untuk merantau lagi, dengan tujuan agar bisa menafkahi. Dalam niat mereka berbeda, Lusia ingin terus memupuk cinta dalam bahterah mereka, sementara Wanus ingin lari dari tanggung jawab sebagai suami.
Suatu malam Wanus mengajak Lusia untuk berdiskusi tentang keluarga kecil mereka. Lusia sangat senang karena jarang sekali Wanus seperti itu. Ada harapan di hati Lusia jika kelahiran anak mereka akan membawa suka cita baru. Tetapi jauh panggang dari api. Wanus bermaksud untuk pamit.
“Lus, saya harus merantau e. Ekonomi kita sekarang sulit. Mungkin di tanah rantau ada pekerjaan bagus,” ucap Wanus tanpa menatap mata Lusia.
“Ole nana, lalong baru lahir e, bang ite pergi rantau lagi…” suara Lusia bergetar.
“Tenang sa e, sa akan kirim uang,” jawabnya singkat.
Dan esok harinya, Wanus benar-benar pergi. Tanpa pelukan. Tanpa pamit pada bayinya. Sejak saat itu, hidup Lusia berubah. Ia tak hanya menjadi ibu. Ia juga menjadi pengganti suami. Semua pekerjaan laki-laki kini diembannya: mengambil makanan babi, timba air, mencari kayu, bahkan mengangkat hasil panen dari ladang. Mertuanya (ibu dari Wanus) tak pernah benar-benar menerima kehadirannya. Setiap hari mertuanya memancing amarah dengan sindiran-sindiran picik. Lusia hanya diam. Tapi setiap hari, sindiran itu datang lagi, dan lagi. Hari demi hari, perdebatan tak terhindarkan. Lusia mulai melawan, mulai angkat suara, dan akhirnya… mulai lelah.
Wanus sudah sejak lama tidak memberi kabar. Dari kepergiannya, jarang sekali ada pesan-pesan manja yang dulu sering menyapa Lusia kala raga tak bersua, seperti ungkapan rindu atau menanyakan kabar istri dan anaknya. Lusia mencoba mengerti. Hanya tetesan air mata yang bisa ungkapkan kesedihan dan kekecewaan yang luar biasa berkecamuk dalam dada. Cinta yang tumbuh di tanah orang, kini gugur di tanah sendiri.
Namun ia tahu satu hal: dirinya tidak sendiri. Dalam dekapannya, dalam balutan kain gendong, ada seorang titipan Tuhan yang menjadi alasannya untuk bertahan. Untuk bangkit. Untuk tidak tenggelam dalam luka yaitu anak dari lelaki yang pernah ia percaya sepenuh hati.
Pada suatu malam, setelah anaknya terlelap, Lusia melipat dan merapikan pakaiannya diam-diam ke dalam tas. Ia menatap wajah kecil yang tertidur damai, lalu mengecupnya perlahan.
“Mama minta maaf e lalong. Kita dua harus pergi dari rumah ini, ke rumah yang benar-benar rumah.”
Setelahnya, pas pagi menjelang subuh, dengan langkah pelan, ia keluar dari rumah yang dulu ia kira tempat berlindung. Jalan setapak yang dulu penuh harapan, kini dilalui dengan luka dan beban. Dengan bemo (angkutan desa) yang setiap pagi melintas depan jalan besar hendak taksi, dia pulang ke rumah orang tuanya. Lusia diterima dengan pelukan hangat dan air mata rindu dari ibu dan saudaranya. Di sanalah Lusia mulai merangkai ulang hidupnya. Tak lagi menunggu lelaki yang memilih pergi, tak lagi berharap pada janji yang patah. Lusia kini menjadi ibu yang kuat, bukan karena ia tak pernah jatuh. Tapi karena ia tahu, pada akhirnya, rumah sejati adalah tempat di mana cinta tak pernah disembunyikan. Selamat tinggal Wanus, selamat tinggal luka abadi.
*) Anak muda Manggarai Timur, merendah usaha NM Galeri Jkt Skuad, tinggal di Manggarai Timur.