Belajar Idealisme dari Orang-orang Proyek

Spread the love
Venan Pea Mole (Foto: Doc. VPM)

Oleh: Venan Pea Mole*

โ€œAn idealist is a person who helps other people to be prosperousโ€ (Henry Ford).

Saya telah membaca novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Tohari (cetakan kedua: Oktober 2015, Penerbit Gramedia). Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang insinyiur sipil bernama Kabul yang dipercayakan untuk menangani proyek pembangunan jembatan di pinggiran Sungai Cibawor.

Kabul sendiri diceritakan sebagai mantan aktivis kampus yang sangat idealis dan menentang kecurangan yang ditawarkan pimpinan proyek dalam pembangunan jembatan tersebut. Di awal cerita, digambarkan kondisi pembangunan jembatan Cibawor yang terkendala karena begitu banyak tindakan korupsi di dalamnya.

Kabul mengetahui betul praktek kecurangan dalam berbagai kegiatan proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini tergambar dalam halaman 32: โ€œโ€ฆpermainan pun harus terjadi lagi dalam pengadaan barang. Pada tingkat ini, permainan berarti memanipulasi kualitas dan kuantitas barang yang dibeli untuk keperluan proyekโ€.

Dalam paragraf berikutnya, โ€œSebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak semua permainan ini. Mutu bangunan menjadi taruhan. Padahal bila mutu bangunan dipermainkan, masyarakatlah yang akan menanggung akibat buruknya. Dan bagi Kabul, hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyiurannya.โ€

Dalam menghadapi kecurangan-kecurangan tersebut, Kabul seperti tidak berdaya. Hal ini digambarkan pada paragraf berikutnya (halaman 32): โ€œNamun Kabul tidak bisa berbuat apa-apa. Karena permainan itu terasa sudah menjadi kewajaran dan menggejala di mana-manaโ€.

Kabul adalah seorang idealis yang tidak menyukai ketimpangan-ketimpangan dalam proses pembangunan jembatan tersebut. Sikap idealis Kabul cenderung dipandang sebagai sikap yang kolot-tidak realistis. Hal ini juga diungkapkan oleh Dalkijo yang juga seorang manajer proyek (halaman 32): โ€œSaya tahu Dik Kabul mantan aktivis. Biasa kan, yang namanya aktivis punya idealisme yang kolot. Tapi setelah bekerja seperti ini, Dik Kabul harus tunduk pada kenyataan. Sedikit pragmatislah agar kita tidak konyol.โ€

Seperti halnya Dalkijo, pernah di suatu waktu-1yang saya lupa waktu dan orangnya, saya pernah seolah diingatkan bahwa ketika masuk dalam medan birokrasi atau politik, jangan terlalu idealis. Dalam birokrasi ataupun politik, idealisme akan menjadi sia-sia. Saya sempat berpikir, entah apa yang dimengerti orang-orang tersebut tentang idealisme dan idealis ketika menyarankan saya agar jangan menjadi idealis atau mempertahankan idealisme ketika masuk dalam medan birokrasi atau perpolitikan. Apa yang mereka ketahui tentang idealisme yang saya anut?

Saya pun akhirnya teringat tulisan Mohamad Sobary berjudul “Demokrasi Hidup tapi Moral Mati”. Mohamad Sobary mengatakan bahwa di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politiknya diwarnai idealisme, bakal ditolak di manapun. Dalam birokrasi, tokoh yang bekerja atas dasar kejujuran dan menolak diajak menyimpang dicap tidak tahu mengenai apa yang disebutkan real politics. Dia disebut dengan sinis-idealis.

Dan semakin jelas bagi kita, sikap pragmatis (seperti diungkapkan Dalkijo) dan real politics (sebagaimana diungkapkan Mohamad Sobary) artinya menyimpang dari apa yang luhur dan mulia, dan penyimpangan tersebut telah diterima sebagai suatu kewajaran. Lalu apa jadinya ketika kita melihat penyimpangan-penyimpangan tersebut sebagai hal yang wajar? Lihat saja bahwa korupsi merajalela di mana-mana, yang mengakibatkan banyak birokrat dan politisi akhirnya masuk bui; mutu bangunan atau jalan-jalan yang dihasilkan (dari proyek pemerintah) tidak berkualitas yang mana dalam satu-dua tahun mulai mengalami kerusakan; dan masih banyak lagi.

Dalam kelanjutan cerita Orang-orang Proyek, pada akhirnya, Kabul meninggalkan proyek pembangunan Jembatan Cibawor dengan kekecawaan. Idealisme Kabul tetap dipertahankannya walaupun mengalami tekanan dan ancaman dari Dalkijo karena dianggap tidak loyal kepada pemerintahan, bahkan dianggap komunis. Hal itu disampaikan Dalkijo sebagai berikut (halaman 229-230): โ€œDik Kabul, sampeyan memang insinyur. Tapi terlalu lugu. Dengar, Dik. Untuk memeriksa bahkan menahan Dik Kabul, mereka akan menemukan banyak alasan. Misalnya, menghambat pelaksanaan program pembangunan, tidak loyal kepada pemerintah, menentang Orde Baru, sampai indikasi bahaya laten komunis. โ€ฆDik Kabul akan masuk daftar hitam;โ€ฆ Selesaikan proyek ini seperti yang kami mau. Atau, apakah Dik Kabul mau repot menghadapi pemeriksaan aparat keamanan?โ€

Menanggapi hal tersebut, Kabul tetap mempertahankan idealismenya dan tetap memilih mundur dari proyek tersebut. Hal ini terlihat dari jawaban Kabul menanggapi tekanan dari Dalkijo tersebut (halaman 230): โ€œโ€ฆUntuk mereka yang suka gampangan dan ingin serba mudah, nasihat Bapak tentu pas. Dan maaf, Pak, saya bukan dari kalangan seperti itu. Jadi saya memilih mengundurkan diri terhitung hari ini.โ€

Apa yang dialami Kabul, sesungguhnya juga terjadi pada masyarakat kita dewasa ini. Di Indonesia, di masa sekarang, bersikap idealis (menolak atau melawan penyelewangan/penyalahgunaan kekuasaan-kewenangan yang terjadi di dalam pemerintahan) itu sama saja dengan melawan perintah โ€˜atasanโ€™ (bisa di lingkungan pemerintah, legislatif, atau lembaga penegak hukum). Beternak sikap tidak jujur, tidak kritis, sifat amoral, menolak bersikap idealis dalam hal-hal tertentu (misalnya dalam novel Orang-orang Proyek digambarkan dalam hal proses proyek yang dilakukan) telah menjadi suatu kewajaran. Bahkan tidak jarang ada yang memuliakan tindakan tersebut.

Saya percaya, bahwa bagi orang-orang yang berakal sehat, berakhlak baik, dan berbudaya luhur, tentu tidak nyaman terhadap berbagai perilaku menyimpang seperti itu. Menjadi idealis terhadap hal-hal yang baik dapat menolong bangsa ini untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Hanya orang-orang berwatak dungu amoral-โ€œidiotโ€ yang dapat menerima penyelewengan-penyelewangan tersebut sebagai suatu kewajaran atau bahkan menerima penyimpangan tersebut sebagai real politics, atau akan dengan bangga disebut realistis.

Namun demikian, pada kenyataannya, percaya atau tidak, menerima penyimpangan sebagaimana dilakukan Dalkijo, benar-benar telah menjadi kewajaran dengan sadar yang sesadar-sadarnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Kabul kepada Wati tentang cerita konyol mengenai orang-orang proyek yang pernah diceritakan oleh Dalkijo sendiri (halaman 251): โ€โ€ฆSuatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan perkerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.โ€

Cerita Kabul kepada Wati tersebut (yang merupakan cerita dari Dalkijo) justru membuat Wati terkejut, karena orang-orang proyek sesungguhnya sadar akan kegilaan mereka. Lebih lanjut, Kabul menegaskan bahwa para orang proyek tahu dan sadar akan kegilaan mereka. Hal tersebut terbaca dalam halaman 252: โ€œMereka, orang-orang proyek, baik dari pihak pemilik atau pemborong, sama saja. Mereka tahu dan sadar akan kegilaan mereka. Dan tampaknya mereka tak peduli. Bagi mereka proyek apa saja dan di mana saja adalah ajang bancakan (dapat diartikan sebagai makan bersama-memperoleh keuntungan bersama).โ€

Pada akhirnya, kita dapat saja diperhadapkan pada situasi sebagaimana yang dialami oleh Kabul atau mirip-mirip seperti yang dialami oleh Kabul. Ketika saat itu tiba, kita mungkin saja dapat memilih sebagai Kabul ataupun seperti Dalkijo. Kalau pun saatnya telah tiba, ada baiknya kita mengingat kembali kata-kata yang pernah diucapkan oleh Baharudin Lopa (Mantan Jaksa Agung): โ€œBanyak yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar, meskipun sendirianโ€. Tapi ingatlah, ketika mengamalkan nasihat ini, berarti saat itu pula kita akan dicap tidak tahu mengenai apa yang disebutkan real politics, akan disebut dengan sinis-idealis bahkan terlalu lugu-konyol.

*) Penulis adalah anak muda Ngada dan saat ini mengabdi di tanah Ngada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *